Menjajah Kebun Raya Bogor

Kebun raya di jantung kota adalah abstraksi paling mudah untuk menyamarkan hiruk pikuk kota Bogor. Semua kesemrawutan dan ketidakberesan Kota Hujan tersamarkan di sana, terpapas oleh rimbun pepohonan dan getar-getar air danau yang dicucup oleh bibir rusa-rusa yang minum dari tepiannya yang tenang.

Berempat. Berbareng dengan Wahyu, Bayu, dan Rangga, saya berkunjung ke Kebun Raya Bogor untuk kesekian kalinya. Hujan yang baru saja membasuh kota ini menyisakan aroma petrikor yang menyeruak kuat dari balik rerumputan.

Kami memang tidak punya banyak rencana di Bogor. Maklum dengan liburan akhir pekan yang sangat terbatas, kami hanya sanggup menghabiskan dua hari berkeliling Bogor dan barangkali menyempatkan sedikit waktu ke Sukabumi. Tangan saya sendiri masih terkesan kebas lantaran harus menyetir mengalahkan kemacetan dari Jakarta.

Basah rerumputan merendam ujung-ujung kaki yang tidak terlindung sandal. Sementara di ujung sana sekelompok anak kecil asyik bermain berguling-guling di rerumputan basah. Ibunya marah mengejar sembari berteriak-teriak menyuruh mereka untuk tidak berkotor-kotor di lumpur basah.

Barangkali itu adalah satu dari sedikit hal yang menginspirasi Bayu untuk bertindak layaknya anak idiot di atas akar gantungan.

“Ini kunjungan saya ketiga kalinya ke Kebun Raya Bogor,” ungkap saya kepada ketiga teman yang sedang asyik-asyik berbicara tentang pekerjaan masing-masing, “Tetapi saya tidak pernah merasa bosan dengan kunjungan ke tempat yang asri seperti ini.”

“Gue orang Bogor,” balas Bayu, “Entah sudah berapa ratus kali gue ke sini, nggak pernah bosen.”

Saya sih bisa maklum. Kebun Raya Bogor seluas 87 hektar mempunyai lebih dari lima belas ribu koleksi flora adalah ikon untuk Bogor. Bukan sekedar ikon. Ia adalah filter. Sebuah abstraksi yang memisahkan hiruk pikuk kota Bogor dengan kedamaian yang semakin langka.