Jayapura Itu Bukan Hutan

“Jayapura? Mau apa kau ke pedalaman seperti itu? Mencari suku primitif di dalam hutan?” rentetan pertanyaan yang dijejalkan oleh sahabat saya sesaat sebelum berangkat ke Jayapura membuat saya terhenyak. Entah dari mana asalnya, pemahaman bahwa Jayapura adalah hutan merupakan anggapan populer di Indonesia bagian barat yang seharusnya tidak masuk akal.

Kota Jayapura berusia lebih dari satu abad. Sebelum tahun 1905, pedagang-pedagang Papua sudah menyesaki tanah yang mereka sebut sebagai Numbai ini. Ketika Belanda masuk ke tanah ini, mereka merubah nama kota ini menjadi Hollandia dan menjadikannya salah satu pelabuhan paling penting di timur Indonesia hingga tahun 1963.

Perpindahan kekuasaan ke tangan Indonesia kembali mengubah identitas kota ini menjadi Sukarnopura, yang lantas dirombak pemerintah Orde Baru menjadi Jayapura hingga sekarang.

Suka tidak suka, kota berpenduduk 420 ribu jiwa ini bukan hutan.

Pemukiman yang menghadap ke Teluk Humboldt telah dihiasi oleh bangunan-bangunan modern dan gedung-gedung tinggi yang berpendar apik pada malam hari, menerangi bibir lautan laiknya kota talasokratik. Jayapura memiliki pelabuhan yang ramai dengan kapal-kapal kontainer yang senantiasa bersandar di dermaganya, beberapa kafe tepi laut tidak pernah habis-habisnya menerima tamu dan memutar musik-musik kencang ciri khas Papua.

Dibandingkan dengan kota-kota di Pulau Jawa, mungkin Jayapura dapat disetarakan dengan Cirebon atau Sukabumi, baik dari ukuran maupun dari fasilitas yang mewarnai kota ini. Jayapura punya beberapa mall yang selalu ramai dengan anak mudanya, hotel-hotel berkelas internasional, franchise-franchise semacam Kentucky Fried Chicken, J.Co Donuts & Coffee, hingga bioskop XXI. Jelas ini jauh dari kesan hutan.

Kota Jayapura tumbuh dengan pesat. Penduduk kota ini naik dua kali lipat dalam lima tahun terakhir apabila kita membandingkan hasil survey dari BPS dan Kemendagri. Yang artinya ekonomi di kota ini sedang berputar kencang namun juga potensial untuk menimbulkan masalah dan gesekan-gesekan baru.

Malam itu saya duduk seorang diri di sebuah rooftop kafe yang terletak di FrontOne Hotel. Dua perempuan muda Papua tersenyum dan mengucapkan salah, kemudian duduk tidak jauh. Sementara itu jauh di sana kerlap-kerlip cahaya lampu nampak apik menerangi kota terbesar di Papua ini.

Kawan, sekali lagi, Jayapura itu bukan hutan.