Entah mau ke mana kota ini melangkah. Wamena terlihat selayaknya kota-kota kecil lain di Indonesia, dengan segala fasilitasnya yang amburadul. Namun terlihat bahwa Wamena seakan-akan berada di sebuah persimpangan jalan, kebingugan dengan identitasnya sendiri dan tidak tahu mau membawa dirinya sendiri ke mana. Ibarat sebuah kota yang dipaksakan oleh pemerintah agar maju, sementara masyarakatnya sendiri belum siap untuk maju.
Inilah Kota Wamena, ibukota dari Kabupaten Jayawijaya.
Bandara Wamena berdiri megah, dengan kurva lengkung sepanjang ratusan meter bak sebuah payung raksasa. Warna merah dengan dinding kaca dan tiang-tiang besi membuatnya terlihat mentereng dari kejauhan. Bandara yang dibangun tiga tahun silam itu sebenarnya laksana sebuah harapan besar bahwa daerah pelosok Papua ini akan dibawa bergerak maju jauh ke depan.
Di sepanjang jalan kota yang sudah semuanya teraspal baik, terlihat trotoar yang setengah jadi seakan-akan menjadi proyek yang tidak dilanjutkan. Menyedihkan apabila mengingat mayoritas penduduk asli Wamena, Suku Dani, masih ke mana-mana dengan berjalan kaki. Alat transportasi umum juga tersedia dua, di satu sisi becak dan di sisi lain ojek sepeda motor. Becak hanya dimiliki oleh putra daerah, sementara ojek dioperasikan oleh para pendatang. Entah apa yang menyebabkan distingsi ini, saya butuh waktu lebih lama untuk mencerna.
Wamena bukan tanpa pembangunan. Di sini berdiri sebuah mall di pusat kota, yang artinya Wamena bahkan sudah mulai membangun sebuah pusat perbelanjaan modern lebih dahulu daripada Merauke yang masyarakatnya jauh lebih makmur. Tetapi kondisi gedungnya menyedihkan, penuh sampah dan tidak banyak kios yang buka. Selebihnya halaman depan mall digunakan sebagai tongkrongan anak-anak muda.
Gedung-gedung bertingkat, stadion yang besar, rumah sakit bertaraf internasional, dan hotel-hotel modern semuanya dibangun di kota ini. Jangan kaget apabila bangunan-bangunan serupa tidak akan anda temukan di Merauke atau Timika. Tetapi kehidupan masyarakatnya terkesan sangat jauh dari kata makmur. Segala sesuatu harganya mahal karena didatangkan dari udara, sementara daya beli masyarakat seakan tidak sanggup untuk menggapai harga dari barang-barang modern yang dipompakan masuk ke sini.
Saya berjalan kaki sore itu mengelilingi kota. Pasar-pasar tradisional nampak sangat ramai dengan mama-mama yang menjual sayur mayur. Hanya saja, terlihat jauh lebih banyak penjual daripada pembeli.