Anak perempuan kecil itu berteriak-teriak memanggil ayahnya. Seorang pria berkumis duduk menyesap kretek menyuruh anak itu diam. Saya berjalan mendekatinya. Pria itu terperanjat melihat kehadiran saya hingga rokoknya nyaris tertelan, dan anak perempuan tadi tertawa terbahak-bahak, “Tuh kan! Dibilangin nggak percaya! Dibilangin nggak percaya!”
“Japanese? Japanese?” tanya bapak itu sambil tergopoh-gopoh menghampiri saya.
“Bukan, Pak. Dari Solo,” ungkap saya sambil nyengir. Ekspresi panik bapak itu pun lenyap, dia ikut-ikutan nyengir kemudian dengan ramah mempersilakan saya untuk masuk.
Keluarga bapak ini adalah kuncen kuburan Jepang di Tarakan. Tugas mereka hanya dua, merawat tanah pemakaman kecil itu dan meladeni para peziarah yang berkunjung, utamanya keluarga dari para serdadu Jepang yang ditinggalkan. Mungkin tadi bapak itu panik pemilik pekuburan datang dan keadaan makam masih amburadul belum disapu.
Memang. Hari itu, keadaan makam berantakan. Dedaunan kering tercecer berserakan menimbun barisan nisan sementara sejumlah ranting patah menghalangi undak-undakan. Sambil membawa sapu lidi, bapak penjaga makam menemani saya naik.
Kompleks pemakaman itu tidak terlalu luas. Ada sebuah sumur yang dipercaya berhantu dan setengah lusin nisan bertatahkan huruf kanji. Di bawah sejumlah nisan terdapat bekas botol bir dan kembang yang sudah membusuk. Ada nuansa sayu di tanah kober yang sederhana dan rimbun ini.
Jepang mengalami dua pertempuran besar di tanah ini. Pertama pada tahun 1942 ketika mengusir bala tentara Belanda dari nusantara. Berikutnya tiga tahun kemudian ketika armada Australia membalaskan dendam dengan balik menghempaskan mereka, merengut seribu enam ratus nyawa. Entah mengapa dari seribu enam ratus korban tersebut hanya tersisa enam batu nisan ini.
“Dua minggu yang lalu ada yang datang dari Jepang, sembahyang sebentar di sini dan mereka menitipkan kartu-kartu doa ini,” terangnya sambil menyapu, “Namun sejak itu tidak seorang pun datang ke sini.”