Derak ranting yang patah dan kerisak dedaunan kering mengiringi langkah kami. Onie memandu saya menyusuri sebuah perkampungan ruwet di Majene. Tibalah kami di sebuah lapang perdu yang dihiasi lusinan bongkah-bongkah nisan uzur. Sebuah kherkoff, kompleks pekuburan Belanda, pada suatu lokasi yang tidak selayaknya di sela-sela kampung.
Entah terlewatkan atau sengaja diabaikan. Namun yang jelas tanah kober ini dirawat secara partikelir swadaya masyarakat. Untuk mencegah nisan-nisannya terkubur di rerumputan tinggi harus berharap ke belas kasih warga sekitar.
“Lihat usia mereka,” pesan Atria pagi tadi, menyiratkan bahwa ada satu aspek menarik yang bisa saya temukan dari epitaf yang tertatah di batu kubur mereka.
Empat puluh tahun, dua puluh lima tahun, dua puluh delapan tahun, sebelas tahun. Atria menjelaskan bahwa dulu Majene pernah menjadi tempat eksil bagi penderita lepra. Para pengidap leprosi diasingkan ke tanah ini. Menghabiskan sisa hidup mereka yang tidak lama karena digerogoti kusta. Hal itu tersirat dari usia kematian para penghuni tanah makam ini yang rata-rata masih relatif muda.
Boleh jadi histori tersebut kurang menarik untuk diekspos, atau terlalu rendah untuk diingat. Tempat ini terlupakan begitu saja. Seakan-akan lenyap dari peta Majene.