Inilah padanan makanan yang harus saya santap seraya mengerutkan kening. Masamnya tidak tanggung-tanggung, seperti ikan yang direbus dalam rendaman cuka selama berabad-abad. Uta palumara londe dan uta sepi tumis adalah dua santapan yang ditawarkan oleh Anif kepada saya pada malam itu sebagai perkenalan dengan delikasi Bima.
Uta palumara londe adalah santapan khas Bima yang banyak terpengaruh oleh budaya Bugis, tidak mengherankan lantaran Sumbawa dan Sulawesi sudah terhubung oleh rute samudera selama berabad-abad. Hubungan dagang antar kedua bangsa seberang lautan ini membaurkan banyak budaya di antara mereka, termasuk di antaranya ragam kulinernya.
Secara harafiah, uta palumara londe bermakna bandeng kuah santan. Sesuai dengan nama yang disandangnya, delikasi ini diracik dari bandeng yang direndam santan dengan bumbu rempah-rempah yang kuat. Aroma bawangnya menyengat berbaur dengan samar-samar bau kunyit dan kemangi. Rasanya tentu saja masam dengan kombinasi sedikit pedas manis.
Lain halnya dengan uta sepi tumis, alias udang tumis yang ditumbuk menjadi satu dengan asam, cabe, dan kemangi. Rasanya sekali lagi juga masam, berbaur dengan nuansa pedas yang sumir. Jangan heran apabila cukup dengan dua lauk ini saya harus makan nasi banyak-banyak untuk meredam kemasaman yang terlewat kewajaran bagi pemilik lidah Jawa seperti saya.
Di luar obsesi masyarakat Bima terhadap rasa masam, kuliner khas Bima punya nuansa rasa segar. Setiap makanan yang saya santap di kota ini terasa menunjukkan karakter rasanya secara berlebihan.
Anif mengajak saya untuk melanjutkan perjalanan. Kota Bima masih terlalu dini untuk ditinggalkan beristirahat, berikutnya kami masih harus melihat banyak tempat-tempat menarik di kota ini, atau sekedar bercengkerama di Lapangan Serasuba.