Bima Tumbuh di Tepi Laut

Anif mempercepat langkahnya. Kaki-kakinya lincah menyusuri tanah kering perbukitan di sisi Dana Traha, hingga akhirnya kami tiba di ujung tebing, di sebuah puncak yang menghadap ke lautan lepas. Dari atas sini Kota Bima terhampar di bawah sana lengkap dengan segala pemandangan lautnya yang menawan hati.

“Itu masjid raya?” tanya saya sembari menunjuk ke sebuah bangunan megah berkubah biru.

“Itu malapetaka buat kita,” jawab Anif yang dari nada bicaranya terdengar lesu, “Pembangunan lama dan dinanti-nanti, tetapi ketika sampai tengah-tengah baru ketahuan kalau salah konstruksi dan terancam rubuh. Maka pembangunan pun dihentikan begitu saja. Sekarang masjid itu mangkrak.”

Saya hanya menatap masjid itu lekat-lekat. Kota Bima terhampar apik di sekelilingnya berlatarkan perbukitan yang berselimut pepohonan hijau dengan lekuk-lekuk tebingnya yang memukau. Bagi orang Jakarta seperti saya masjid tersebut bukanlah bangunan yang besar, yang bisa jadi apabila salah konstruksi pasti sudah dirubuhkan dan dibangun ulang, tetapi untuk masyarakat Bima skalanya barangkali menjadi jauh berbeda.

Kawasan ini pada awalnya disebut dengan nama Dana Mbojo. Namun kedatangan seorang tokoh dari jauh, kemungkinan Pulau Jawa, bernama Bima ke Pulau Satonda menjadi raja pertama di daerah ini. Keberadaan Raja Bima tersebut membuka akses Dana Mbojo ke dunia luar, pembangunan dan perdagangan bergerak kencang hingga akhirnya sebuah kesultanan pertama berdiri di tanah ini pada abad ke-16.

Kota Bima tumbuh pesat dari laut. Kapal yang berlalu lalang dan singgah di Pulau Sumbawa selalu menyempatkan diri mereka untuk singgah di tanah ini. Kesultanan Bima lantas menyeruak menjadi kesultanan makmur penguasa setengah Pulau Sumbawa hingga tahun 1951 sebelum akhirnya berubah status menjadi sebuah kabupaten. Pada tahun 2002, Kabupaten Bima dinaikkan statusnya menjadi sebuah kota otonom yang menandai posisinya sebagai kota kedua di Nusa Tenggara Barat setelah Mataram.

Saat ini lebih dari empat ratus ribu jiwa mendiami kota ini, dari pesisir pantainya hingga ke ambang kaki-kaki bukit yang mengapitnya di sisi yang lain. Saya duduk bersama Anif di paparan lapangan rumput, sementara di seberang lautan matahari memancarkan pendar cahaya jingga terbenam di sebalik pulau.