Pak Mateos Anin punya banyak lopo di pekarangan rumahnya. Satu lopo yang terletak tepat di tengah-tengah pekarangan adalah lopo yang paling besar, ukurannya dua tiga kali lopo-lopo lainnya. Di sinilah Pak Mateos Anin bersama keluarganya berkumpul, menjadikan gubuk kecil ini sebagai ruang pertemuan untuk sanak famili.
Di dalam lopo ini terasa muram dan gelap, nyala api dari tungku menjadi satu-satunya sumber cahaya di dalamnya. Pada salah satu sudut terdapat dua lusin burung dara hitam yang bertengger di atas tonggak kayu. Sementara pada palang lopo tergantung batang-batang jagung yang baru saja dipanen. Mereka dibiarkan tergantung begitu saja di sebelah kiri kanan sebuah topeng kayu.
“Topeng kayu ini melambangkan wajah nenek moyang kami,” cetus Pak Mateos Anin menunjuk topeng kayu berbentuk wajah berdagu panjang yang menghadap lurus ke arah pintu masuk lopo.
Pak Anin mengajak saya berjalan berputar di setiap sudut lopo sementara setengah lusin anjing kampung berkeliaran mengikuti kami sehingga berkali-kali Pak Anin harus menendang mereka agar menyingkir. Bau kayu bakar begitu menyengat di dalam ruangan tertutup ini ketika api terus menyala-nyala memanaskan sepanci air.
Pada salah satu sudutnya, Pak Anin menunjukkan beberapa tongkat yang berasal dari abad ke-17. Tongkat-tongkat tersebut merupakan pusaka kepala suku di Fatumnasi dan diwariskan secara turun temurun. Beliau sendiri merupakan generasi kesebelas dari tetua klan Anin Fuka yang telah mendiami Fatumnasi selama berabad-abad.
“Di kursi ini anak kecil tidak boleh duduk,” kata Pak Anin sembari menunjuk ke arah sebuah bangku kayu yang di atasnya ditumpuki jerami dan kotak besi, “Menurut nenek moyang kami, apabila anak kecil duduk di sini maka dikhawatirkan pertumbuhannya nanti akan terganggu.”
Tentu saja ada seribu keyakinan dan mitos di dalam suku ini. Saya dengan sabar mendengarkan satu per satu tentang apa dan bagaimana ihwal kehidupan suku ini. Salah satu yang membuat saya kagum dengan masyarakat Fatumnasi adalah usaha mereka untuk senantiasa menjaga keseimbangan dengan alam, agar tidak menimbulkan kerusakan apapun.