Suhu di luar anjlok hingga delapan derajat Celsius. Malam di Fatumnasi mengingatkan saya akan malam-malam yang pernah saya lewati di Dataran Tinggi Dieng beberapa waktu silam. Yang berbeda adalah yang memisahkan antara saya dengan bekunya malam kali ini hanyalah bilah-bilah bambu dan atap alang-alang lopo kecil ini.
Keberhasilan alang-alang menghadang hembusan angin gunung cukup menolong meredam dinginnya malam. Saya meringkuk di salah satu dipan yang disediakan oleh Pak Mateos Anin sembari berselimut. Satu-satunya sumber cahaya yang membantu saya menavigasi lopo di malam itu berasal dari senter redup yang nyalanya sudah segan.
Dua malam lamanya saya tinggal di dalam lopo. Suara berisik dari angin gunung yang sesekali menghembus lembah Fatumnasi terkadang menimbulkan denging nyaring ketika menyelip dari sela-sela tanaman bambu. Saya pun melewatkan malam yang hanya tersisa empat jam untuk tidur di tengah kegelapan total.
Malam itu saya masih sesekali mendengar angin gunung menghempaskan batang-batang kayu di pekarangan dan lolongan anjing bersahutan di luar sana. Selebihnya sunyi mencekam.
Matahari di Fatumnasi terbit lebih awal. Pukul lima pagi di sini sudah terang benderang namun udara masih dingin membeku. Saya berjalan merunduk keluar dari lopo mengamati pekarangan rumah Pak Anin yang becek lantaran hujan angin semalam suntuk. Daun-daun pepohonan nampak masih basah bermandikan embun pagi.
Pagi di Fatumnasi masih senyap. Cahaya matahari memantul apik di lereng-lereng pegunungan yang mengepung Desa Fatumnasi. Seorang ibu berpakaian tradisional Timor menyapa saya di jalan yang saya balas dengan senyuman simpul. Ramah tamah khas Timor begitu terasa di daerah ini, yang mana tidak ada istilah orang asing.
“Lopo sebenarnya tidak perlu dikunci, tidak ada pencuri di sini,” ungkap Pak Anin ketika berpapasan dengan saya di pekarangan, “Tetapi itu untuk menghindari anjing atau hewan liar masuk ke dalam lopo. Jadi sebaiknya dikunci saja.”