Mendefinisikan Melayu-Jambi ibarat mengiris kulit tipis sebuah dinding pembatas etnis. Sejatinya dinding tersebut tidak pernah ada ataukah diada-adakan hanya karena kebutuhan identitas niscaya akan sebuah provinsi, saya kurang yakin. Melayu di pesisir timur tadinya merupakan sebuah kesatuan di era pre-republik, ketika Indonesia berdiri dan mulai memilah-milah kawasannya, muncullah dua berbagai identitas Melayu, termasuk di antaranya Melayu-Riau dan Melayu-Jambi.
Kesultanan Melayu-Jambi menjadi tonggak awal dari identitas provinsi ini. Sesaat setelah kemunduran Imperium Sriwijaya, muncullah kerajaan-kerajaan Islam di tanah Sumatera, salah satunya Kesultanan Melayu-Jambi. Wilayah Jambi yang berada di bawah Palembang melepaskan diri dan membentuk kekuatan baru di Selat Malaka.
Adalah literatur-literatur Tiongkok kuno yang bercerita tentang San Fo Tsi (Sriwijaya), sebuah kerajaan besar yang menguasai separo nusantara dan kemudian runtuh. Selat Melaka selanjutnya dikuasai oleh beberapa kesultanan, salah satunya adalah Chen Pi (Jambi) yang menguasai kawasan Sumatera Timur.
Dibandingkan kawasan-kawasan lain di Sumatera, penduduk Jambi relatif jarang. Bahkan menurut survei Hindia Belanda pada tahun 1852, penduduk kawasan ini hanya mencapai 60.000 jiwa dan hampir seluruhnya berdiam di kawasan pantai barat yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Sementara kawasan Jambi Timur sendiri tidak lebih dari hutan lebat yang tidak berpenghuni. Enam puluh ribu jiwa Melayu inilah yang menjadi cikal bakal Melayu-Jambi yang mendiami tepian Sungai Batanghari dan Sungai Tembesi.
Sebenarnya tidak semua penduduk Jambi adalah etnis Melayu. Jauh di pedalaman hutan di sisi timur sana hiduplah sekumpulan orang dalam jumlah kecil yang disebut sebagai Suku Kubu atau kini lebih dikenal dengan nama Suku Anak Dalam. Sedangkan di ujung timur, tepatnya di kaki Gunung Kerinci, orang-orang Jawa dikirim oleh pemerintah kolonial Belanda untuk membuka hutan lebat dan mengelola perkebunan teh. Hingga saat ini keturunan para pekerja Jawa masih mendiami tanah itu.
Pada masa lampau pusat Kesultanan Jambi justru terletak di Muara Tembesi. Di sanalah Sultan Jambi berdiam dan memimpin kerajaan dengan penduduk jarang ini di tengah hiruk pikuk keramaian Selat Malaka. Pada perjalanan sejarahnya, Kesultanan Melayu-Jambi lebih banyak menjalin hubungan dagang dan berkiblat di bawah lindungan kerajaan-kerajaan Melayu yang jauh lebih besar.
Susah untuk mendefinisikan Melayu-Jambi itu apa. Ketika saya bertemu dengan Ichsan, seorang teman Melayu yang besar dan tinggal di Jambi ihwal perbedaan antara Melayu-Jambi dan Melayu-Riau, Ichsan hanya tersenyum simpul, “Oh, bahasa kami agak berbeda. Melayu-Jambi banyak berakhiran ‘o’ seperti Bahasa Palembang.”