Naik ke Bukit Kaba ibarat berkendara di atas permukaan bulan. Jalanan yang hanya selebar rentangan kaki dengan permukaan bercampur antara bebatuan keras dan lumpur becek membuat sepeda motor yang kami tumpangi harus terseok-seok dalam penanjakan yang lebih cocok ditaklukkan dengan kaki telanjang ini.
Entah lima atau enam kali Cindy dan saya harus turun dari boncengan motor masing-masing dan menyaksikan bapak-bapak pemandu dari desa bawah untuk mendorong sepeda motornya keluar dari kubangan lumpur. Alhasil diperkirakan perlu waktu satu jam dan pantat rata untuk menaklukkan bukit yang tingginya tidak seberapa ini.
“Di sini tahun depan akan dibangun jalan,” celetuk Pak Kamil di sela-sela napasnya yang ngos-ngosan, “Jadi tahun depan kalau kalian ke sini lagi, sudah tidak harus seperti ini. Kalau seperti ini lebih banyak yang memilih jalan kaki.”
“Berapa lama kalau kita jalan kaki, Pak?” tanya saya lagi, suara saya bergetar kuat lantaran sepeda motor yang kami tumpangi terpental-pental di atas permukaan yang bergelombang seperti keripik Chitato.
“Dua setengah jam atau tiga jam,” jawab Pak Kamis singkat.
Tidak terlampau buruk sebenarnya memilih sepeda motor sebagai moda transportasi penakluk Bukit Kaba. Alih-alih menghabiskan waktu tiga jam dengan pendakian kami bisa menghemat waktu dua jam meskipun harus dibayar dengan pantat rata dan permukaan kulit lengan yang tercabik-cabik oleh dedaunan berduri.
Satu jam berlalu. Entah kabut tebal yang mulai mengambang rendah atau posisi kami yang sudah lumayan tinggi, yang jelas kini jalanan setapak di hadapan kami sudah terhampar dengan jarak pandang hanya dua meter. Selebihnya adalah sendat-sendat awan putih yang terasa basah ketika bersentuhan dengan tubuh.
“Sebentar lagi kita sampai,” seru Pak Kamil dengan suara paraunya yang beradu dengan deru mesin motor memenuhi ambien hutan, “Dari belokan di atas itu, puncak Bukit Kaba sudah dekat sekali. Kalian bisa lanjut jalan kaki.”