Sunyi Taman Nasional Wasur

“Kakak mau berhenti di sana?” tanya Astrid sesaat ketika kami mendekati pintu gerbang Taman Nasional Wasur di Merauke, “Tidak ada siapa-siapa di sana, tetapi ada beberapa papan tulisan yang cocok untuk berfoto.”

Entah mengapa di Indonesia sedang ngetren berfoto di sebelah papan tulisan. Memang tidak ada salahnya, namun bagi saya lucu juga bahwa berfoto di sebelah tulisan “Taman Nasional Wasur” serasa lebih memvalidasi pengalaman kunjungan saya dibandingkan berfoto di sebelah kasuari atau rumah semut. Tetapi saya tidak ingin memikirkan soal itu sekarang, sepeda motor saya tepikan di papar jalan yang sepi.

Taman Nasional Wasur adalah taman nasional yang terletak di ujung paling timur dari republik ini. Sebagian besar kawasan taman nasional ini merupakan padang rumput tanah merah, sedangkan sisanya adalah lahan basah rawa-rawa. Koleksi biodiversitas utamanya adalah rayap, wallaby, kasuari, hingga cenderawasih, yang hampir seluruhnya unik hanya berhabitat di kawasan ini.

Saya mendekati pusat informasi Taman Nasional Wasur. Gedung berdinding kayu ini memampangkan tulisan Bomi Sai besar-besar di atasnya dengan ikon wallaby, kanguru pohon. Tetapi kunjungan saya sia-sia lantaran pintunya terkunci rapat dan tidak terlihat ada seorang pun di dalam sana. Bahkan pos penjaga pun terlihat sudah lama sekali ditinggalkan dengan debu setebal ruas jari.

Taman Nasional Wasur sebenarnya boleh dibilang tidak tanpa fasilitas. Terdapat dangau-dangau yang dibangun di tepi telaga yang dapat digunakan orang-orang untuk bersantai, di tengah kawasan taman nasional ini pula dibelah sebuah jalan beraspal yang menghubungkan antara Merauke dengan perbatasan di Sota. Namun entah mengapa petugas taman nasional tidak pernah nampak batang hidungnya.

Saya memberikan isyarat kepada Astrid untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Merauke. Hujan gerimis mengiringi kendara kami menuju ke Merauke siang itu.