Kerisak dedaunan terdengar tatkala kedua kaki menapaki jalanan berdebu Muntok. Sedemikian sunyi hingga langkah-langkah kecil saya terdengar begitu berisik. Di tikung-tikung utama kota itu saya nyaris tidak menemui siapapun terkecuali seorang pengemudi becak yang tidur lelap karena tidak punya penumpang.
Ujung barat Bangka pernah lebih nyenyat daripada ini. Adalah titah dari Sultan Mahmud Badaruddin I untuk membuka sebuah perkampungan yang memecah kesunyian berabad-abad itu. Tepatnya pada tahun 1732, sang kepala negeri Encik Wan Akub menancap totem Kesultanan Palembang di papar barat Pulau Bangka. Bermula dari tujuh rumah kayu, desa nelayan ini berdenyut di seberang muara Sungai Musi.
Denyut berubah menjadi dentum tatkala deposit timah ditemukan di ambangan Sungai Ulim. Para penambang timah berdatangan dari Johor, Siam, dan Champa ke Palembang memohon izin untuk mengeruk timah di Pulau Bangka. Konsesi tambang yang dibuka oleh Sultan Mahmud Badaruddin I inilah yang kemudian membuat Pulau Bangka menjadi kosmopolitan dengan masuknya para pendatang dari berbagai sudut Asia dan Eropa, termasuk Arab, Tiongkok, dan Inggris.
Muntok tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan yang ramai. Kota ini menjadi gerbang penghubung antara Pulau Bangka dan Pulau Sumatera, yang mana posisinya tepat di seberang bibir Sungai Musi.
Namun bukan lantaran timah Muntok menatahkan namanya di lembar-lembar histori republik. Setelah Belanda mendepak Inggris keluar dari tanah ini pada tahun 1814, Belanda meninggalkan Gudang Kuning milik Inggris dan memindahkan ibukota Pulau Bangka ke Pangkalpinang. Bukan berarti Muntok kehilangan peranannya, kota yang pernah hidup dari timah ini masih sempat dimanfaatkan Belanda sebagai tanah pembuangan bapak-bapak republik sesaat pasca kemerdekaan.
Dari Muntok, Bung Karno bersama Bung Hatta pernah memimpin republik juvenil ini. Kota yang penduduknya mayoritas etnis Tionghoa dan Melayu ini selama beberapa saat menjadi begitu penting teruntuk kelangsungan republik. Beberapa tahun kemudian Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dan meninggalkan nusantara, saat itu pulalah Muntok turut meredup dan perlahan-lahan terlupakan.
Saya berdiri seorang diri di hadap sebuah monumen lokomotif tua. Siang itu panas dan sunyi. Untuk kota sekecil ini, monumen bertebaran di setiap sudutnya seakan-akan ada usaha setengah mati agar Muntok tetap diingat oleh generasi-generasi berikutnya. Sementara di belakang saya yang ada hanya kesunyian tak bertuan.