Jangan salah. Luasnya hampir empat hektar. Perjalanan Bayu dan saya ke museum yang dibuka tiga tahun silam ini memang boleh dibilang jauh di atas ekspektasi. Pada mulanya kami mengira Museum Angkut hanya terdiri dari sebuah bangunan luas dua lantai, namun ternyata mencakup beberapa gedung dengan koleksi lebih dari tiga ratus unit kendaraan unik.
“Ini sih sekelas dengan Museum Mercedez-Benz yang saya kunjungi di Stuttgart,” sergah saya. Memang. Apabila dilihat dari jumlah koleksi dan ukurannya maka kedua museum itu boleh dibilang setara.
Semenjak dibuka untuk publik pada pertengahan tahun 2014, Museum Angkut merumahkan lebih dari tiga ratus sarana transportasi dari berbagai zaman, mulai dari sepeda onthel hingga lokomotif kereta. Berbeda dengan museum-museum lain di Indonesia yang relatif sepi, muram, dan kurang terawat, Museum Angkut selalu penuh dengan pengunjung dan terawat dengan sangat baik.
Di antara ratusan mobil-mobil antik yang ada di dalam museum ini, salah satunya juga terdapat mobil listrik Tucuxi yang pernah dikemudikan Dahlan Iskan dan menghantam lereng Gunung Lawu di Magetan. Pameran lain yang cukup populer untuk anak-anak adalah flight simulator yang terletak di atap museum, menampilkan struktur bagian dalam pesawat penumpang yang bisa kita eksplorasi hingga ke ruang kokpitnya.
Butuh waktu sekurang-kurangnya dua jam untuk dapat menikmati seluruh pameran yang terdapat di museum ini. Jelas sebuah kemewahan lantaran waktu yang kami berdua miliki sangatlah terbatas. Di bagian terluar dari Museum Angkut juga terdapat sebuah kawasan pasar terapung yang di dalamnya dijajakan banyak makanan khas Indonesia. Jadi pengunjung tidak perlu khawatir apabila mencari makan di tempat ini.
Jam sudah menunjukkan pukul dua siang ketika Bayu dan saya memutuskan untuk mengakhiri perjalanan dan kembali ke Kota Malang. Dari sini perjalanan masih harus dilanjutkan ke Gunung Semeru.