“Apa nama museum di Surakarta?” tanya bapak petugas museum sambil menerawang KTP saya, matanya memindai kolom demi kolom di kartu identitas yang cuma secuil itu seakan-akan penasaran kalau-kalau tulisannya secara ajaib bisa berubah.
“Radya Pustaka,” jawab saya singkat sambil melempar senyum sekenanya.
Museum Provinsi Lampung memang baru saja menggelar acara pertemuan perwakilan museum-museum dari seluruh Indonesia. Wajar apabila si petugas dengan agak penasaran menanyakan museum apa yang ada di kota kelahiran saya usai hajatan besar itu. Apabila museum di kota Solo kita kenal dengan nama Radya Pustaka, museum di kota Bandar Lampung ini mempunyai nama Ruwa Jurai.
“Kamu yakin mau ke museum?” hanya sesaat sebelum kami tiba di muka museum ini, Hellen menanyai saya seakan tidak percaya bahwa destinasi tujuan saya adalah Museum Provinsi Lampung.
Bagi sebagian besar orang, kunjungan ke museum memang membosankan. Namun teruntuk saya secara pribadi, museum adalah cara termudah untuk memindai sinopsis akan suatu kebudayaan. Sebuah sudut pandang helikopter walau terkadang menjadi tidak lebih dari sebuah oversimplifikasi terhadap lika-liku historis. Bahkan terkadang melalui museum pulalah kita menemukan hubungan interaspek budaya yang sebelumnya tidak pernah kita sangka-sangka punya konektivitas.
Museum Sang Ruwa Jurai bukan museum kecil, museum ini punya okupansi dua lantai penuh. Di dalam setiap sudutnya terdapat artefak-artefak khas Lampung, mulai dari pakaian adat hingga miniatur rumah adat masyarakat Bumi Ruwa Jurai.
“Dari sini kamu juga jadi tahu bahwa mayoritas penduduk Lampung adalah suku Jawa,” terang Hellen menjelaskan bagaimana influks orang Jawa memasuki provinsi ini dari waktu ke waktu. Menarik.