Atas Nama Ronggowarsito

“Amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi,
Mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni,
Boya keduman mélik, kaliren wekasanipun,
Ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali,
Luwih begja kang éling klawan waspada.”
– Ronggowarsito, Tembang Sinom

Raden Ngabehi Ronggowarsito kondang tak ubahnya William Shakespare dalam historia sastra Jawa. Pujangga bernama muda Bagus Burhan ini diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Ronggowarsito, menggantikan ayahnya sendiri yang mangkat di penjara Belanda usai Perang Diponegoro. Lima belas tahun kemudian, Ronggowarsito diangkat sebagai pujangga kraton oleh Sri Susuhunan Pakubuwono VII dan semenjak itulah karya-karyanya mendominasi lanskap sastra Jawa.

Beliau mangkat secara misterius pada tahun 1873 yang telah diramalkannya sendiri di dalam Serat Sabdadjati, karya sastra terakhirnya. Ramalan tersebut menguatkan dugaan bahwa Ronggowarsito dihukum mati oleh Raja Solo dan surat tersebut ditulisnya ketika menunggu eksekusi mati dijalankan. Adapun teori ini dibantah oleh pihak Kasunanan Surakarta.

Meskipun misteri melingkupi hidup dan matinya, ada satu hal yang tidak dapat dipungkiri, yaitu fakta bahwa Ronggowarsito masih merupakan sastrawan paling agung yang pernah dipunyai Jawa. Fakta tersebut membuat nama besar Ronggowarsito dijadikan sebagai nama Museum Provinsi Jawa Tengah, museum kardinal yang lokasinya terletak tidak jauh dari Bandar Udara Ahmad Yani.

Siang itu saya berkunjung ke museum provinsi ini setelah berjalan kaki lumayan jauh dari lokasi Klenteng Sam Poo Kong. Tidak terlihat satu orang pun berada di sana pada siang hari itu. Termasuk penjaga. Alhasil, saya pun melenggang masuk secara gratis.

Museum Ronggowarsito atau Museum Rangga Warsita ini sejatinya mempunyai koleksi yang rancak. Mulai dari serat-serat Jawa Kuno hingga diorama pewayangan yang komplit. Sayangnya keterangan yang tercantum di setiap artefaknya boleh dibilang masih sangat minimal dan hanya tersedia di dalam Bahasa Indonesia sehingga belum sedia untuk melayani wisatawan internasional, terlebih apabila tidak ada pemandu sama sekali seperti sekarang ini.

Satu jam yang menyusuri museum ini tanpa bertemu seorang pun. Bahkan ketika saya berjalan meninggalkan lokasi nampak tidak ada yang melihat. Agak janggal memang. Atau barangkali saya datang pada momen yang keliru. Namun yang jelas saya sudah belajar banyak dari koleksi yang dipamerkan di dalamnya.

Perihal Ronggowarsito, beliau memang tidak pernah habis untuk dibahas. Saya jadi teringat kepada salah satu ramalan beliau yang paling tenar yaitu ihwal kemerdekaan Indonesia. Pasca Perang Diponegoro, Ronggowarsito meramalkan kebebasan rakyat Jawa dari penjajah akan tiba pada Wiku Sapta Ngesthi Janma alias 7781. Oleh sejumlah penafsir, hal ini diartikan sebagai tahun 1877 Saka, yang bertepatan dengan tahun 1945 Masehi.