Sebenarnya di lembar-lembar kisah bangsa-bangsa selalu ada wayang. Memori saya terngiang jauh ketika masih berada di Munich pada musim dingin setahun silam. Kala itu saya menyaksikan sebuah pagelaran boneka dari seluruh dunia dalam aneka bentuk dan coraknya. Dari Indonesia? Wayang.
Agak naif tatkala kita memperlakukan wayang sebagai satu entitas. Wayang sendiri seyogyanya adalah sebentuk konsep abstrak yang multi-versi. Apakah wayang dapat dimaknai sebagai boneka pertunjukan sandiwara? Barangkali iya. Lalu bagaimana dengan wayang orang yang jelas-jelas bukan boneka? Apabila merujuk ke Bahasa Melayu, wayang malah diartikan sesederhana suatu pertunjukan. Tontonan. Bioskop pun tergolong wayang walaupun tiada hubungan dengan kisah pewayangan.
Saya bukan berada di Munich. Hari ini saya berada di Jakarta, tepatnya di Museum Wayang yang terletak di salah satu gedung uzur di telatar Kota Tua. Museum yang dihiasi oleh cahaya lampu lamat-lamat ini menyimpan lebih dari lima ribu koleksi wayang, dalam konotasi boneka sandiwara, dari seluruh wilayah Indonesia maupun berbagai negara di dunia.
Yang namanya wayang itu bukan sebatas wayang kulit dan wayang golek. Ia hadir dalam berjuta wujud yang bahkan kita tidak pernah lihat sebelumnya. Siapa sangka ada wayang tembaga, wayang pandan, dan wayang suket yang dipamerkan di sudut-sudut museum ini.
Dari negara lain, barangkali wayang potehi yang berasal dari Tiongkok menjadi ikon paling populer di Indonesia lantaran pernah dibawa masuk oleh rombongan imigran Tionghoa. Selebihnya, boneka-boneka sandiwara aneka wujud memantik ketakjuban saya terhadap kekayaan budaya nusantara.
Pagi itu hujan gerimis. Saya bersama Kirana menjelajahi sudut-sudut Kota Tua, menyempatkan sebuah kunjungan ke Museum Wayang. Meskipun tempatnya cukup luas namun di dalam terasa demikian padat lantaran banyaknya pengunjung yang mempunyai rencana kunjungan yang sama dengan kami.
Soal museum ini, koleksi yang lengkap didukung penataan yang ala kadarnya sebenarnya sudah cukup memikat. Sayangnya saya bukanlah budayawan yang paham seluk beluk pewayangan secara mendalam. Selebihnya biarlah museum ini menjadi sebatas tempat cuci mata menikmati budaya sekaligus peneduh dari hujan di luar sana.