Adalah sebuah tantangan tersendiri mencari makan pada bulan puasa. Terlebih lagi untuk wilayah kental religi macam Sumatera Barat. Itulah alasan mengapa hari itu saya bangun pagi-pagi buta, mengikuti jadwal sahur, kemudian bergegas untuk menuju ke warung terdekat.
Saya kembali ke hotel dengan membawa sebungkus nasi padang. Hanya saja yang tiada disangka ternyata porsinya besar sekali. Saya jadi teringat Pak Ari yang dulu pernah bercerita mengapa nasi padang itu jumlahnya lebih banyak jika dibungkus daripada makan di tempat.
Bukittinggi bukanlah kota yang direncanakan. Pada awalnya Belanda membangun benteng Fort de Kock di atas sebuah bukit. Lambat laun kantor-kantor pemerintahan dibangun di sekitar paparnya, diikuti dengan pemukiman yang terus tumbuh hingga ke tubir ngarai. Menjadi begitu padat dan menjadi begitu penting di kemudian hari. Jadi lumrah apabila kota ini berbukit-bukit, trotoarnya penuh dengan tangga naik turun.
Udara yang dingin memang senantiasa menaungi Bukittinggi, demikian pula dengan awan yang tiada bosan-bosan meneduhi luasan kota ini dari sorot panas matahari. Tanpa mereka, perjalanan naik turun tangga tentu akan terasa jauh lebih melelahkan.
Bukittinggi adalah kota terakhir yang harus dikunjungi di Sumatera Barat karena kota ini penutup yang sempurna, demikian cetus Lonely Planet di dalam salah satu paragrafnya. Tak keliru, memang keunikan Bukittinggi boleh dikata tidak ditemukan di kota-kota lain nusantara, mulai dari histori yang direngkuhnya hingga kontur naik turun kotanya.
“Dua hari di Bukittinggi sebenarnya kurang,” cetus Ilham melalui pesan singkat, “Saya rasa kamu hari kembali lagi ke sana suatu saat nanti. Di lain waktu.”
Tentu saja.