“Jadikanlah Kota Palangka Raya sebagai modal dan model,
Jangan membangun bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan,
Dan lahan di sepanjang tepi sungai tersebut, hendaknya diperuntukkan bagi taman,
sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu indah.”
– Soekarno, 1957
Kota besar tidak harus lahir dari peradaban. Ia bisa pula lahir dari sebuah inisiasi politik, sebuah tarik ulur kepentingan yang lebih besar. Mereka menyebutnya sebagai suatu keniscayaan untuk republik yang masih muda kala itu. Palangkaraya salah satu contohnya.
Kisahnya jauh ke periode awal kemerdekaan republik. Tatkala itu wilayah ini bersimpuh di bawah komando Banjarmasin, menjadi satu bagian provinsi Kalimantan Selatan. Provinsi yang berbatas dengan Laut Jawa itu punya dua komposisi etnis besar, Dayak dan Banjar. Suku Banjar menang jumlah. Sementara Suku Dayak yang lebih sedikit mendiami wilayah yang lebih luas.
Tercetuslah keinginan masyarakat Dayak untuk mempunyai provinsi mereka sendiri. Aspirasi tetua Dayak itulah yang kemudian diterima Presiden Soekarno sebagai ide awal pembentukan provinsi Kalimantan Tengah, yang lebih luas daripada induknya sendiri.
Palangkaraya menjadi jantung. Padahal belum lama kota yang secara harafiah berarti tempat suci ini terlahir. Bermula dari satu perkampungan Suku Dayak bernama Pahandut, kota Palangkaraya pun dibentuk. Bung Karno menaruh harapan besar terhadap tanah ini. Bukan hanya sebagai jantung Kalimantan Tengah kala itu, melainkan juga ibukota Republik Indonesia kala mendatang.
Kota di atas lahan gambut ini tumbuh dengan jalan rayanya yang lebar-lebar dan boulevard-nya yang grandeur, kampung di papar Kahayan ini lambat laun menjadi metropolitan. Namun apapun itu, pencapaian ini masih jauh sekali andaikan dibandingkan maha-proyeksi untuk menjadikannya ibukota negara.
Palangkaraya terus bergerak maju. Namun melihatnya memegang tongkat komando republik ini terasa masih sangat jauh di angan-angan.