Bagi seorang laki-laki, keberadaan sebuah kolor adalah modal yang lebih dari cukup untuk menceburkan diri ke laut. Kalau bukan lantaran panasnya Labuan Bajo pada siang itu, mungkin saya masih berpikir dua kali untuk berenang dengan hanya bercelana dalam.
Labuan Bajo punya banyak pantai skenik. Termasuk di antaranya Pantai Pede yang paparannya terselip di balik perbukitan, memunggungi kota Labuan Bajo yang riuh dengan turis. Siang itu memang tidak ada sesiapapun di sana, selain kami dan seorang bapak yang berenang bersama anak laki-lakinya.
Lomar dan saya harus berjalan menyusuri aspal panas untuk mencapai pantai ini. Diposisikan terhadap kota kecil Labuan Bajo di sebalik bukit, Pantai Pede berada persis di belakangnya. Sesekali kami berpapas dengan para penduduk lokal yang membalas senyuman kami dengan keramahan khas Flores.
Jangankan senyuman, sepasang kepala manusia pun hanya ada di kejauhan sana. Begitu sepi. Saya pun menceburkan diri ke airnya, terkurung oleh lekukan teluk kecil, yang membuatnya begitu tenang tanpa gelombang. Sementara matahari siang yang sudah tinggi seakan-akan menggoreng permukaan air laut hingga terasa mendidih. Namun saya tidak peduli.
Belum lama saya berendam, seorang ibu tua melintas di atas pasir putihnya, melempar senyuman. Saya hanya nyengir karena boleh jadi ibu itu berpikir orang sinting mana yang berendam di laut pada cuaca sepanas ini. Biarlah. Lomar asyik berfoto-foto di kejauhan sementara tubuh saya sudah terbakar merah merona dipapar mentari, menyisakan bekas kolor di kulit yang memalukan.
Intinya, di Pantai Pede memang harus pede!