Di ambang hampar pasir putihnya yang tenang menyeluk di balik tanjung, Senggigi menjelma menjadi pantai kardinal. Turis-turis yang menyemuti tanah ini semenjak medio 1990-an mengubah raut sempadan pantai yang pernah senyap ini. Hotel-hotel untuk segala kedalaman kantong bermunculan di tepi jalan besar beraspal yang menyisir tepi barat Pulau Lombok. Singkat cerita, Senggigi adalah tumpahan Bali yang bertransformasi menjadi totem pariwisata arus utama.
Senggigi untuk Lombok tiada ubahnya Kuta untuk Bali. Elementer. Sama seperti halnya Denpasar butuh Kuta sebagai ikon yang rusuh disesaki turis, Mataram butuh Senggigi sebagai tiang pancang pariwisata. Tidak keliru andai Lonely Planet kemudian menyebut Pantai Senggigi sebagai pantai tradisional Lombok.
Tradisional dalam arti sudah tradisi turis ke Lombok ya mampir ke Senggigi.
Kesunyian boleh jadi telah purna. Namun kecantikan itu belum lenyap. Setidaknya demikianlah kesan pertama saya ketika melewatkan senja yang temaram di ambang pantai. Anak-anak berkulit legam bermain pasir di tepi pantai, pemuda-pemuda bertelanjang dada melatih kemampuan berselancar, sementara saya diam mengamati matahari yang melesak pelan-pelan di sebalik Gunung Agung yang ada di pulau seberang sana.
Pantai Senggigi sempat terangkat ke permukaan meskipun kemudian tidak bergerak. Tidak ada letupan-letupan turisme mega-meriah ala Kuta atau Legian di tanah ini. Senggigi bangkit dari sebuah kesepian yang mendadak berdenyut, namun ia tidak pernah berdentum.
“Sebenarnya sejak pariwisata berkibar awal tahun 1990-an, Senggigi itu limpahan dari Bali,” celoteh Pak Arsyad yang menemani saya di kedai sore itu, “Tetapi krisis ekonomi, kemudian kerusuhan etnis, kemudian Bom Bali, dan seterusnya mematikan pariwisata Bali dan Senggigi kena imbasnya.”
Mungkin sesederhana itu. Mungkin juga tidak. Namun pariwisata Senggigi yang begitu-begitu saja belakangan ini nampaknya bertolak belakang dengan Gili yang semakin moncer. Barangkali itu semua lantaran kemudahan akses dari Bali yang memungkinkan Gili untuk digapai dengan kapal cepat. Dengan kata lain, sedikit banyak Lombok masih mengandalkan luapan Bali.
Satu hal yang tidak bisa saya lewatkan dari Pantai Senggigi tentu saja adalah langitnya yang selalu meleleh di senja hari. Ketika awan-awan gempal bergulung-gulung mengatapi Gunung Agung di seberang sana, angkasa membara dengan semburat jingga menyesaki setiap sudutnya. Dan saat itu semua itu terpapar di hadapan saya.