Saya melambaikan tangan kepada ketiga serdadu, kemudian melompat turun dari mobil. Ketiga tentara tadi membalas dengan senyum sumringah kemudian melemparkan pertanyaan standar, “Wartawan, Mas?”
“Bukan,” jawab saya sambil terbahak, “Saya hanya kebetulan lewat dan ingin berfoto di sini.”
Patok Tiga adalah gerbang perbatasan paling tenar di Sebatik. Sesekali waktu ada saja wartawan-wartawan yang berkunjung kemari untuk meliput atau sekedar mengambil gambar perbatasan. Dibandingkan patok-patok perbatasan yang lainnya, Patok Tiga tak ubahnya primadona lantaran posisinya yang unik dan tidak jauh dari kota.
“Di sini yang paling terkenal ada sebuah rumah yang terletak di dua negara,” ucap Yusuf menjelaskan, “Rumah itu ruang tamu berada di Indonesia tetapi dapurnya berada di Malaysia.”
Entah sudah berapa ratus kali saya mendengarkan kisah itu. Diulang-ulang setiap kali media massa meliput hal ihwal Pulau Sebatik, hingga saya tidak tahu lagi apakah si pemilik rumah sendiri sudah jengah dengan seribu wawancara yang dijalaninya. Tetapi yang jelas baru kali ini saya melihat dengan mata kepala sendiri tentang satu rumah dua negara yang sudah lama didengar itu.
“Ya, setiap hari sepi-sepi saja seperti ini,” celetuk tentara yang duduk mengawal perbatasan dengan sepucuk senapan otomatis yang diletakkan di atas meja kayu.
Tentu saja sepi. Bukan apa-apa. Pulau Sebatik di bagian Indonesia memang banyak dihuni penduduk, sementara di bagian Malaysia nyaris tanpa penduduk. Sebagian besar penghuni Sebatik Malaysia sudah berpindah domisili ke Kota Tawau yang berada tidak jauh dari pulau ini, meninggalkan wilayah Kerajaan Malaysia di pulau ini dengan hanya segelintir keluarga yang tersisa.
Saya mengucapkan salam perpisahan kepada para penjaga perbatasan dan kembali beranjak ke mobil. Yusuf mengikuti dan mengajak saya untuk makan siang di salah satu rumah makan yang terdapat di Sei Nyamuk. Ah, tentu saja, saya belum makan dari pagi.