Surabaya kental dengan aroma tensi tinggi ala Jawa. Serapah-serapah jancukan terdengar di sudut jalan dilontarkan anak-anak muda yang kemudian disusul dengan gelak tawa bersahut-sahutan. Teruntuk saya yang berasal dari Solo, wanti-wanti orang tua ihwal kasarnya Surabaya seakan-akan sudah menjadi kaset rusak yang diputar berulang-ulang dengan pesan yang serupa, “Jangan kasar-kasar seperti orang Surabaya!”
Raungan knalpot motor mengalihkan perhatian saya dari senda gurau sekelompok pemuda tadi. Tujuan saya berada di tempat ini adalah untuk mengunjungi ulang jantung Surabaya, sentra kota abadi yang menjadi soko guru bagi terbentuknya kota ini di kemudian hari. Memang bangunan tua di Surabaya tidak semegah dan sebanyak di Jakarta, namun kondisinya boleh dibilang jauh lebih terawat.
Di sisi kiri jalan terlihat Hotel Majapahit, bekas Hotel Oranje yang dahulu tenar akibat insiden perobekan bendera Belanda. Hotel yang berdiri pada tahun 1910 milik Sarkies Brothers, pengusaha hotel kambuhan asal Armenia, ini sempat berpindah tangan ke Jepang pada medio Perang Dunia II dan berganti nama menjadi Hotel Yamato. Di sinilah kemudian insiden perobekan bendera itu terjadi. Paska merdeka, hotel ini kembali berpindah tangan dan berganti identitas menjadi Hotel Majapahit di bawah kelola PT. Management Trust.
Berjalan kaki terus ke arah utara menelusuri Jalan Tunjungan dan Jalan Pahlawan membawa saya ke pemandangan gedung-gedung tua yang silih berganti menghiasi paparan jalan. Hampir kesemuanya masih terawat apik dan dialihfungsikan sebagai gedung pemerintahan. Salah satunya adalah gedung bercat kuning yang kini menjadi markas UPT Pelayanan Perizinan Terpadu. Gedung ini dahulunya bernama Gedung Soeara Asia yang mana menjadi pusat penerbitan Soerabaiasch Handelsblad, surat kabar tertua dari Kota Pahlawan yang diterbitkan oleh Protell.
Secara keseluruhan gedung-gedung di kawasan lama Surabaya ini telah direstorasi apik, bagian dalamnya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menjadi sentra-sentra pemerintahan. Mulai dari gedung Bank Indonesia, gedung De Javasche Bank, hingga kantor gubernur, seluruhnya merupakan bekas bangunan tua yang dialihfungsikan.
Gedung kuning mentereng tersebut menjadi penutup perjalanan saya mengitari sentra Surabaya. Fitri mengajak saya untuk mengunjungi salah satu kedai es paling populer di Surabaya, Es Krim Zangrandi, yang tentu saja tidak mungkin ditolak oleh penggemar es krim seperti saya.