Lengkung-lengkung atapnya mengingatkan saya kepada gereja-gereja di Eropa. Memori saya berputar kembali ke hari-hari musim semi di Trier beberapa tahun silam, tatkala udara dingin perlahan mulai tersaput pergi. Nuansa gereja yang tenang teduh membawa saya pikiran saya kembali ke Jerman. Begitu mirip.
Katedral, dalam Bahasa Latin punya makna kursi atau kedudukan, adalah singgasana bagi keuskupan. Katedral Surabaya sendiri bernama Gereja Hati Kudus Yesus yang dibangun nyaris seratus tahun silam sebagai kontinuitas dari Gereja Maria Geboorte Kepanjen. Namun baru empat puluh tahun kemudian, Keuskupan Surabaya resmi berdiri.
Pembangunan Katedral Surabaya boleh dibilang tidak mulus. Mulai dari permasalahan tanah, anggaran, dan selisih tata kota membuat pembangunan gereja besar ini tertunda-tunda hingga satu dekade. Barulah pada medio 1920-an, kucuran dana sebesar 160.000 Gulden mendukung perusahaan arsitek Huswit-Fermont untuk mewujudkan mimpi yang sudah lama tertunda itu dengan Romo Flerecjere sebagai kepala parokinya.
Katedral Surabaya mempunyai dinding bata merah yang unik pada sisi luarnya, sementara sisi dalamnya berupa dinding putih yang dihiasi buluh-buluh lengkung yang memilah-milah gedungnya seperti separo kubah. Di setiap sudutnya terdapat patung-patung marbel bergaya Eropa Kuno yang masih terawat apik.
“Katedral Surabaya ini bukan tempat wisata tentu saja,” terang Fitri berusaha menjelaskan sesuatu yang sebenarnya kami berdua sudah tahu, “Tetapi kalau sedang tidak ada ibadah, kita bebas berkunjung untuk bisa foto-foto di dalamnya.”
Kami berdua meninggalkan gereja tidak lama kemudian. Berjalan kaki menyusuri jalanan Surabaya yang panas membara di pagi itu sembari mencari makan siang. Katedral Surabaya nampak berdiri menjulang di belakang sana, meskipun jalan masuknya terselip di sebuah jalan kecil yang ramai dengan anak-anak sekolah yang baru saja berhamburan pulang.