“Klenteng? Di sini banyak sekali klenteng!” kata juru parkir yang membuat kami semakin bingung. Tentu adalah kesalahan kami yang kurang memperhitungkan bahwa jumlah klenteng pasti lusinan. Siang itu, Untsa dan saya berjalan kaki menyusuri sudut-sudut Pecinan Jakarta untuk menemukan remah-remah budaya yang terlupakan.
Adalah Jin De Yuan, atau yang dalam Bahasa Indonesia dinamai Dharma Bakti, yang menjadi destinasi sasaran kami berdua. Klenteng yang dibangun pada tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen tersebut merupakan klenteng tertua di Jakarta. Pada awalnya rumah ibadah ini bernama Kwan Im Teng, konon penyebutan “kwan im teng” itu pulalah yang kemudian dipelesetkan oleh orang Betawi sebagai “ke len teng” yang kemudian entah bagaimana salah kaprah itu pun menasional.
Tiga ataukah mungkin empat orang yang sudah kami tanyai. Menyusuri gang-gang Petak Sembilan yang becek kuyup di sela-sela kawasan Glodok memang jauh dari kata nyaman. Namun setidaknya kami tiba juga di tempat yang sedari tadi dicari-cari itu. Di sebalik tikungan pada jalanan sempit yang penuh sesak itu kami menemukan Klenteng Jin De Yuan.
Pada peristiwa Geger Pacinan yang melanda Batavia tiga abad silam, klenteng ini ikut menjadi korban. Menurut penuturan beberapa orang, satu-satunya patung yang selamat dari penghancuran adalah Dewi Kwan Im. Itulah mengapa di kemudian hari klenteng ini didedikasikan kepada Sang Dewi Welas Asih tersebut.
Pada ruangan sentral klenteng ini terdapat sejumlah patung dewa-dewi sesembahan. Pada sayap kanan kirinya terdapat kamar-kamar untuk para biksu yang berdiam di sini dengan nama-nama yang tertulis pada lempeng-lempeng batu. Salah satu ornamen bersejarah dari klenteng ini adalah sebuah meja berusia empat abad, meja yang yang selamat dari peristiwa pembakaran besar-besaran di masa itu.
Untsa diam seribu bahasa tatkala saya asyik mengamati setiap sudut bangunan bersejarah ini. Sekelompok orang nampak asyik bermain sepak bulu ayam, baik tua maupun muda. Seumur hidup baru pertama kali saya melihat orang memainkan olahraga ini di dunia nyata.
Klenteng Jin De Yuan memang telah lama didapuk menjadi pusat perayaan hari-hari raya Tionghoa. Bukan kali ini saja. Sebelum era Perang Dunia II, tepatnya tiap Hari Waisak, diadakanlah pentas Opera Tionghoa Peranakan yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Indonesia dan diiringi dendang riang musik keroncong. Meskipun sekarang semua itu telah menjadi catatan masa lalu, ingin rasanya melihat aktivitas serupa kembali hidup di pelataran bangunan bersejarah ini.