Namanya Rimba Candi. Tetapi jangan engkau bayangkan kompleks ini seperti Candi Prambanan atau Candi Muara Takus. Rimba Candi benar-benar berada di tepi rimba, tepatnya di areal kebun kopi. Dan candinya? Tidak terlihat kecuali kita masuk ke dalam-dalam dan yang nampak pun hanyalah reruntuhan dan bongkah-bongkah batu hitam besar.
Rimba Candi adalah peninggalan Kerajaan Sriwijaya, demikian hipotesa gampangan para peneliti. Meskipun bisa jadi pada kenyataannya situs ini jauh lebih dari tua daripada Kerajaan Sriwijaya itu sendiri, namun aturan ibu jari nampaknya membawa kita untuk mengasumsikan bahwa apapun budaya tinggi purbakala di Sumatera Selatan pasti bermuara di Sriwijaya.
Kawasan percandian ini tidak hanya menyimpan sejarah namun juga menyimpan banyak misteri. Terletak di bawah perbukitan Raje Mandare yang terpisah beberapa kilometer dari Kota Pagaralam, kawasan Rimba Candi jarang mendapatkan perhatian yang cukup. Ada berbagai alasan perihal ini, mulai dari kawasan Pagaralam yang belum lama naik daun, lemahnya minat wisatawan terhadap wisata arkeologi, hingga alasan yang pernah menyebutkan kawasan Besemah yang belum sepenuhnya aman.
Saya berjalan bersama Khairi merunduk menyusuri perkebunan kopi tanahnya melesak ketiak diinjak. Sepeda motor terpaksa kami titipkan di rumah salah seorang warga sementara kami harus berjalan kaki menembus kawasan perkebunan kopi ini tanpa tahu ke mana, pokoknya berdasarkan peta kami harus masuk cukup dalam.
Di tengah kebun kopi itulah kami bertemu dengan seorang pemuda bertopi cokelat, Arfan namanya. Anak itu yang mengajak kami berdua untuk menyinggahi batu-batu besar yang ada di kebun kopi tersebut. Ada setumpuk bebatuan yang terdiri atas pilar-pilar hitam yang rubuh, saya berfoto di depan bebatuan tersebut seraya mencoba menerka-nerka bentuk awal bangunan itu.
“Tidak ada yang tahu seperti apa bangunan itu dulunya,” ucap Arfan, “Para peneliti setahun bisa empat atau lima kali datang ke tempat ini dan mereka pun masih mencoba menebak-nebak. Dari modelnya sepertinya hampir semua bangunan di sini menurut mereka adalah altar-altar pemujaan.”