Klenteng Sam Poo Kong

“Marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al-Qur’an,” sebuah transkrip lirik di Klenteng Sam Poo Kong ini ditengarai sebagai sinyal kuat bahwa Laksamana Cheng Ho adalah seorang Muslim. Benarkah? Entahlah. Catatan Liang Qi Chao tidak pernah secara eksplisit bicara ihwal seluk beluk religi sang laksamana tapi banyak analisis yang membenarkan hal tersebut, meskipun ada beberapa yang menolaknya.

Laksamana Cheng Ho adalah seorang penjelajah terbesar yang pernah dimiliki Tiongkok. Beliau mengadakan tujuh ekspedisi Perjalanan Harta Karun selama dua puluh delapan tahun mengitari separo planet ini dengan armada luar biasa besar. Dari tujuh penjelajahan tersebut, enam kali Cheng Ho singgah di Pulau Jawa.

Dari kebiasaan beliau berdoa di sebuah bukit batu, didirikanlah kuil di tempat ini. Klenteng Sam Poo Kong, atau yang biasa dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Gedung Batu, merupakan petilasan Laksamana Cheng Ho dalam enam kunjungannya ke nusantara. Dalam perkembangan, Sam Poo Kong dipergunakan oleh umat Muslim maupun umat Tridharma, sebutan untuk penganut Buddhisme, Kong Hu Chu, dan Taoisme.

Arsitektur Klenteng Sam Poo Kong adalah akulturasi antara desain bangunan Tiongkok dan Jawa. Di dalamnya terdapat lima kuil utama yang dibangun pada zaman berbeda dan diberi nama sesuai dengan tokoh-tokohnya, yaitu Kuil Sam Poo Kong, Kuil Tho Tee Kong, Kuil Kyai Juru Mudi, Kuil Kyai Jangkar, dan Kuil Kyai Cundrik. Belakangan satu bangunan lagi ditambahkan dengan nama Kuil Kyai Tumpeng yang menjadikan kawasan seluas empat hektar ini mempunyai enam petilasan utama.

Salah satu kuil yang didedikasikan pada Mbah Kyai Tumpeng hingga saat ini kerap digunakan orang-orang yang beribadah mengharapkan keselamatan dan kesehatan.

“Sebenarnya namanya bukan Gedong Batu,” terang Pak Cun sembari terkekeh ketika saya tanya ihwal nama tersebut, “Nama yang benar itu Kedong Batu, atau istilah tumpukan batu-batu alam yang dipergunakan untuk membendung aliran sungai. Tetapi karena ada gedungnya orang jadi menyebutnya Gedong Batu.”

Agak lucu memang. Siang itu saya berjalan kaki di bawah panasnya udara Kota Semarang. Namun saya justru mensyukuri, sebab di dalam suasana hujan Kota Semarang adalah langganan banjir. Perihal cuaca panas sudah menjadi pilihan yang terbaik untuk perjalanan kali ini, memang bukan tanpa alasan. Ah, biarlah.