Ada yang bilang bahwa namanya adalah onomatopoeia dari suara kincir air. Lantaran dahulu kala di tempat ini terdapat banyak sekali kincir air yang suaranya grojok-grojok, orang pun kemudian memelesetkan namanya menjadi Glodok. Dan demikianlah semenjak tembok Kota Batavia dibangun, Glodok secara konsisten mendapuk dirinya sebagai Pecinan terbesar di nusantara.
Teruntuk yang cukup awas, mungkin menyadari bahwa Glodok tersusun atas lorong-lorong yang dinamai dengan sifat-sifat positif, misalnya Jalan Kebenaran, Jalan Kebajikan, dan Jalan Kebahagiaan. Dari lorong-lorong tersebut terdapat satu jalan yang terletak tidak jauh dari Jalan Kemenangan yang namanya demikian masyhur meskipun tidak terkait dengan sifat positif apapun, Petak Sembilan.
Sejatinya Petak Sembilan lebih tepat disebut gang daripada jalan. Mengunjungi kawasan Petak Sembilan serasa dibawa berteleportasi ke hutong-hutong di Beijing. Dengan jalanan yang sempit penuh orang berdesak-desakan, warung kopi di kanan kiri jalan, dan penduduk lokal yang asyik bermain catur. Lanturan-lanturan campur aduk Bahasa Indonesia dan Bahasa Hokkien yang belepotan pun terdengar memenuhi ambien lorong legendaris ini.
Perjalanan saya bersama Untsa ke Petak Sembilan ini boleh dibilang tanpa rencana. Dari Kota Tua, tiba-tiba saja terlintas ide untuk menyusuri kawasan Pecinan terbesar yang ada nusantara ini. Jadilah kami berdua menyusuri sudut-sudut terdalam Glodok untuk merasakan secara langsung kehidupan etnis Tionghoa di Jakarta.
Di Jakarta, ada anekdot Cina Selatan dan Cina Utara. Meski saya sendiri merupakan keturunan Tionghoa, nuansa kehidupan di sini terasa begitu eksotis. Teruntuk saya yang tinggal di kawasan selatan Jakarta, kehidupan etnis Tionghoa di kawasan utara serasa dibawa langsung dari negara lain.
Keberadaan Petak Sembilan yang fenomenal juga dilengkapi oleh ikon-ikon legendarisnya. Sebut saja Toko Obat Hok Seng Tong 34 (Karti Djaja) yang dianggap sebagai salah satu toko obat paling populer di Jakarta. Ada pula Es Kopi Tak Kie yang secara spektakuler mempertahankan ciri khasnya selama nyaris lima dekade. Belum lagi Kedai Sedap Wangi, Fai Kie, dan Soto Betawi A Fung yang senantiasa disesaki pengunjung.
Singkat cerita, budaya etnis Tionghoa di Jakarta melumer di Glodok dan Petak Sembilan adalah episentrumnya. Bicara soal etnis Tionghoa, di sini bukan hanya getar-getar budaya yang terasa, gaungnya serasa berdentum ke seluruh nusantara.