Tangan-tangan tuanya dengan gesit memapas batangan kayu itu dengan pisau. Diukirnya lekuk-lekuk pada kayu kecil tersebut hingga menyerupai miniatur tifa, alat musik khas Papua. Bagi sepasang papa mama dari Suku Marind ini garis batas adalah anugerah. Apalagi kalau bukan kesempatan untuk meraup banyak uang dari para pelancong yang penasaran dengan garis imajiner yang disebut perbatasan ini.
“Lima puluh ribu saja,” ucap mama bertubuh tambun tersebut ketika saya menanyakan harga sebuah noken yang berselimut bulu-bulu burung bangau. Saya teringat bahwa di Jayapura, benda-benda seperti ini harganya sudah tembus dua ratus ribu rupiah.
Saya mengamati noken yang tak ubahnya sebuah anyaman tas kecil berlapis bulu bangau itu. Habis sudah ide ini tentang apa yang dapat saya lakukan dengan benda tersebut nantinya. Namun rasa suka terhadap barang seni dan keinginan untuk memutar perekonomian membuat saya membeli noken tersebut tanpa menawar.
Lain halnya dengan Astrid. Dia lebih tertarik dengan ukiran kayu yang dipegang oleh si papa.
“Saya maunya yang diukir tulisan di sini, bisa bikin kah?” tanya Astrid kepada si papa yang dijawab dengan gelak tawa kencang beserta anggukan kepala, sementara tangan-tangan tuanya tidak berhenti memahat batang kayu yang ada di dalam genggamannya.
“Sekarang hanya ada dua,” jawab si papa dengan logat kental Papua, “Kalau mau bulan depan, bukan dua lagi, tapi tiga puluh. Empat puluh ada semua. Kamu mau berapa?”
Obrolan yang ramai dan bersahabat itu mewarnai pertemuan kami dengan para pedagang dari Suku Marind di Sota, perbatasan Indonesia dan Papua Nugini. Garis batas memang kerap mendatangkan masalah bagi masyarakat Pulau Papua, namun teruntuk pasangan suami istri ini, garis batas adalah penghidupan mereka.