Barang telah dikemas. Kaos basah sudah dilepas, kemudian direntang. Seonggok mega mendung berarak ringan di rendahan langit Papua Barat seakan tidak berdaya melindungi Raja Ampat dari ganasnya matahari. Kedua telapak kaki ini serasa sudah melepuh sedari tadi menapaki hamparan pasir putih yang membara.
Hari ini adalah hari yang panjang di Raja Ampat. Dari Saleo menjelajah seantero perairan Waigeo hingga akhirnya kembali lagi ke rumah yang aman di Saleo.
Matahari belum terbenam, meskipun sudah miring rendah sekali di sebelah sana. Saya berjalan seorang diri menyusuri pantai mencari tempat untuk bersepi-sepi. Jadilah kemudian anak kota ini duduk di sebuah pantai kosong, menatap jauh-jauh ke arah lautan lepas dengan punggung yang merona terbakar matahari.
Adapun akhir dari sebuah perjalanan memang selalu menjadi momen untuk kontemplasi. Momen untuk memutar ulang rekaman tentang satu jurni yang baru saja dijalani, meskipun menyelami kesendirian itu tidak serta merta senantiasa sanggup didapatkan.
Tanpa banyak bersuara, Pak Odigenes muncul di dekat saya, menanyakan apakah saya berminat untuk ditemani ke hutan mencari cenderawasih esok hari. Tentu saja. Saya juga meminta untuk diambilkan gambar diri di pantai sunyi senyap ini.
Satu lagi, orang berkata Raja Ampat itu mahal. Memang benar. Bagaimana tidak mahal andaikata segala sesuatu di tanah ini harus diimpor dari pulau-pulau seberang? Termasuk bahan bakar dan barang-barang nan trivial. Namun kemahalan itu tidak selalu dibayar dengan uang. Ia pun dapat dibayar dengan waktu.
Perjalanan pesawat yang mahal ke Sorong, dapat tergantikan dengan perjalanan panjang dan melelahkan dengan kapal perintis, misalnya. Tentu saja itu bukan opsi yang masuk akal teruntuk sebagian besar orang. Namun tanah ini mahal, itu benar. Cuma terserah anda mau membayarnya dengan apa, uang atau waktu.