Diapit gelora Samudera Hindia dan dibentengi belantara Bukit Barisan. Situasi tanah ini yang terisolasi membuat Inggris menyerah. Sementara Belanda punya ide lain, memanfaatkan Bengkulu yang terpencil sebagai tanah pembuangan. Enam tahun lamanya Soekarno menjalani eksil di Bengkulu.
Rumah cantik itu tentu sangat megah untuk zamannya. Bangunan kecil dengan taman yang lapang milik saudagar Tjang Tjeng Kwat itu pernah dipinjam penguasa Belanda untuk merumahkan Soekarno. Dengan dikuncinya sang negarawan di tanah terpencil ini, Belanda berharap Soekarno kehilangan pengaruhnya dalam memimpin pergerakan politik di Indonesia.
Namun keinginan Belanda tersebut tidak dapat terpenuhi.
Justru selama di dalam pengasingannya, Soekarno menggelorakan semangat nasionalisme kepada rakyat Bengkulu. Di tempat ini pulalah beliau bertemu dengan Fatmawati, seorang gadis Bengkulu yang saat ini masih bersekolah di sekolah Katholik, Vakschool Maria Purrisima. Di kemudian hari Fatmawati menikah dengan Soekarno dan menghasilkan lima keturunan, salah satunya adalah Megawati Soekarnoputri yang menjadi presiden kelima Republik Indonesia.
Memang agak janggal melihat rumah kediaman Soekarno berada di tengah-tengah kota Bengkulu. Namun pada masa tersebut, rumah ini terletak di pinggir hutan, tersudut dari keramaian. Hanya saja sebarengan dengan perkembangan kota yang pesat, lama kelamaan posisi rumah ini jadi di tengah-tengah kota.
Pandangan saya menyapu ruangan yang dindingnya sudah mulai kekuning-kuningan itu. Dulu Soekarno menghabiskan hari-harinya di kamar ini, tidur di ranjang besi yang nampak sudah berderit-derit. Di salah satu sudut ruangan terdapat seragam tonil Monte Carlo, operet pemuda asuhan Soekarno, semasa masa pengasingan. Salah satu yang menarik adalah operet berjudul Dr. Sjaitan dan Koertoebi yang jelas-jelas merupakan adaptasi mentah dari kisah populer Dr. Frankenstein.
Saya hanya tersenyum kecil melihat naskah-naskah lain karya Soekarno, seperti Chungking Djakarta dan Poetri Kentjana Boelan, yang menyiratkan minat Soekarno muda terhadap sastra modern kala itu.
“Dulu di sini kalau hujan bocor-bocor,” kata bapak yang berjaga di sana, “Tetapi untunglah pemerintah yang sekarang sudah memperbaiki. Kan kasihan juga rumah bersejarah kok dibiarkan terbengkalai.”