Lelaki Bugis itu mendobrak pintu kamar dan membabatkan parang secara membabi buta. Tebasan demi tebasan mengoyak tubuh Thomas Parr. Sang residen tua tewas mandi darah di hadap istrinya, kepalanya dipisahkan dari tubuhnya dan dibawa lari. Sementara di luar sana, di lapang Malabro, tiga ratus pribumi merangsek masuk berjibaku dengan orang-orang Inggris.
“Ya! Mereka penggal kepala Parr sayangku untuk dibawa ke kepala suku mereka. Kepala yang diberkati! Wajah yang diberkati! Namun napas terakhirnya tetap milikku. Dia masih menatapku berjuang melawan monster-monster yang masuk ke kamar kami.”
Sejarah Inggris menggambarkan Thomas Parr sebagai sosok pemimpin bersih tegas tetapi dipusingkan oleh kasus-kasus korupsi anak buahnya. Sebaliknya, sejarah Indonesia mencitrakan Thomas Parr sebagai tokoh keras kepala dan brutal. Entah mana yang benar, sejarah memang selalu ditulis dari sudut pandang masing-masing. Satu yang pasti, sebuah monumen di simpang kota Bengkulu dibangun untuk mengenang sang residen. Sebuah monumen yang kini teronggok di depan pasar tradisional.
Bahkan setelah mati pun, Thomas Parr tidak tenang. Tugu sederhana berusia dua abad ini pernah nyaris digusur untuk pembangunan. Beruntung rencana kurang masuk akal itu tidak diloloskan pemerintah.
Tidak banyak yang kita ketahui tentang ketokohan sang residen. Bengkulu sendiri tetap bertahan sebagai salah satu koloni yang membawa kerugian finansial bagi Inggris. Angin segar sempat dirasakan Bengkulu ketika salah satu putra terbaik Inggris, Thomas Stamford Raffles, ditunjuk untuk menangani daerah yang dikenal sebagai colonial backwater ini. Namun endemi malaria dan bencana alam yang frekuen akhirnya membuat Inggris enggan untuk mempertahankan Bengkulu lebih lama lagi.