Singgahan Soekarno di Bima

Bosan. Bapak bertubuh tambun dan berkumis tebal itu terlihat sumringah ketika saya tiba. Sedari tadi beliau duduk seorang diri menjaga istana berusia ratusan tahun ini dari pengunjung yang tidak setiap hari ada. Dari duduknya yang hanya ditemani segepok koran dan raut muka ditekuk, saya paham betapa bosannya beliau melewatkan hari.

“Dari mana, Pak?” tanyanya kepada saya ketika melihat saya memasuki halaman istana yang becek akibat hujan pagi tadi, meskipun usianya sudah barang pasti dua kali lipat usia saya, beliau memanggil saya dengan sebutan bapak.

“Dari Solo,” jawab saya dengan senyum lebar, “Boleh masuk?”

Ternyata si bapak tidak merelakan saya masuk sendirian. Justru beliau berjalan mengikuti dan menemani ketika saya menyusuri satu demi satu ruangan yang ada di Istana Asi Mbojo ini, termasuk satu ruangan yang begitu memikat perhatian saya, kamar bekas Presiden Soekarno ketika beliau mengunjungi Bima.

Beberapa kali Soekarno mengunjungi Kesultanan Bima, beliau selalu tidur di kamar yang sama. Kamar yang terletak di samping kamar Sultan Muhammad Salahuddin ini kini dihiasi oleh sebuah foto Bung Karno yang terpasang pada salah satu sisinya. Dua kunjungan Bung Karno yang paling dikenang oleh masyarakat Bima adalah pada tahun 1933 dan 1950. Pada tahun 1933, kunjungan Sang Putra Fajar adalah di dalam perjalanan pembuangan ke Ende, yang mana beliau mengikat hubungan persahabatan dengan Kesultanan Bima.

Perjalanan berikutnya adalah pasca-kemerdekaan yang kemudian mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat Bima dan pernyataan kesetiaan dari Sultan Salahuddin terhadap Republik Indonesia.

“Saya sebenarnya sedih, Mas!” ucap sang bapak penjaga museum, “Melihat kehidupan masyarakat Bima sekarang lebih sering bersengketa dan berkelahi. Suka ribut. Sementara anak-anak mudanya banyak yang menganggur, jadi tukang ojek paling banter, yang lebih parah saya sering melihat beberapa memakai narkoba.”

Entah mengapa dari kisah-kisah tentang kedigdayaan Kesultanan Bima itu tiba-tiba sang bapak penjaga museum mengubah nadanya ketika kami keluar dari kamar tidur Bung Karno. Saya tidak terlampau paham dengan masyarakat Bima lantaran saya baru tiba di sini satu jam yang lalu, tetapi ada perasaan bahwa sebentar lagi ini akan menjadi sebuah perjalanan yang penuh cerita.