Pantomim, artis trotoar, dan pemusik jalanan bertubuh tambun. Sejenak ingatan saya berputar kembali ke Damrak. Hari itu akhir musim dingin saya berjalan kaki seorang diri di bawah hembusan udara beku Amsterdam, tersesat di liku lorong-lorongnya, dan terbenam dalam riuh rendah masyarakat di lapangan berlantai batu, di kaki Paleis op de Dam.
Lapangan Fatahillah adalah Damrak teruntuk Jakarta. Menyaksikan gedung Stadhuis de Batavia tidak bisa tidak mengingatkan saya kepada gedung Paleis op de Dam. Dua buah gedung sentra pemerintahan yang sama-sama megah, punya nuansa angkuh, dan menghadap lapangan bujursangkar berlantai batu.
Adalah Joan Van Hoorn, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang menginisiasi pembangunan Balai Kota Batavia. Namun baru tiga tahun kemudian bangunan renaisans yang berdiri di jantung kota Batavia ini dituntaskan oleh penerusnya, Abraham van Riebeeck.
Terlepas dari status sebagai sentra pemerintahan, sejarah Stadhuis de Batavia berlumuran darah. Gedung ini adalah altar penyudahan riwayat para tahanan. Hukuman gantung era kolonial dipertontokan kepada khalayak di halaman gedung. Tahanan diseret keluar dengan paksa diiringi dengan tiga dentang pemecah keheningan. Lonceng kematian. Soli de Gloria, hanya untuk kemuliaan Tuhan. Kemudian tamat.
Stadhuis de Batavia tidak pernah terlupakan. Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini dijadikan kantor pusat logistik. Ketika republik ini merdeka, gedung yang sama menjadi balaikota Jawa Barat. Barulah usai Daerah Khusus Ibukota dipisahkan dari provinsi Jawa Barat, mahakarya kolonial ini bergeser menjauh dari percaturan politik dan bertransformasi menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Tidak banyak yang ingin saya ceritakan dari kunjungan ke tempat ini. Setiap malam Stadhuis de Batavia masih selalu ramai. Riuh rendah masyarakat Jakarta melebur lumer menjadi satu dalam kemeriahan dan gelak tawa yang abai akan sejarah gedung di hadapan mereka. Tanpa eksekusi tahanan maupun dentang lonceng kematian.