Di Bengkulu Melepas Senja

Mentari surut di sebalik pantai. Saya duduk seorang diri di atap tembok Fort Marlborough seraya memicingkan mata ke arah pantai. Silau. Panasnya sore berbaur dengan angin laut yang kencang membuat permukaan kulit serasa digosok dengan amplas.

Sekumpulan anak-anak remaja bercengkerama di sisi Pantai Panjang, menyimak matahari yang semakin lama semakin rendah di sebelah barat. Dari atap sitadel warisan Inggris ini, Samudera Hindia terbentang lapang di hadapan saya, memagari apik Kota Bengkulu yang sudah terisolasi dari sisi yang lain oleh jajar panjang Bukit Barisan Selatan. Di Bengkulu, kami melepas senja.

Tanah ini pernah sedemikian terisolasi. Dihimpit Samudera Hindia dari sebelah barat dan Bukit Barisan dari sebelah timur, membuat Bengkulu begitu susah untuk diakses. Jalan lintas dari Bengkulu ke daerah-daerah di sekitarnya pun sangat terbatas, itu pun harus melalui hutan lebat yang penuh dengan tikungan siluman.

Bahkan saking terpencilnya, Belanda pernah menggunakan Bengkulu sebagai lokasi pembuangan Bung Karno. Di tanah inilah Soekarno bertemu dengan Fatmawati yang kelak menjadi istri keduanya setelah bercerai dengan Inggit Ganarsih.

Zaman demi zaman telah berlalu, isolasi Bengkulu sedikit demi sedikit telah dibuka. Akses penerbangan menuju ke ibukota provinsi dengan nama sama ini mulai aktif dan jalan lintas barat Sumatera perlahan-lahan mulai membaik. Namun Bengkulu masih belum beranjak dari statusnya sebagai kubangan hitam Sumatera. Ketika pembangunan jalur kereta api dan tol Trans-Sumatera misalnya, Bengkulu merupakan satu-satunya provinsi di daratan Sumatera yang tidak kebagian jatah prioritas utama.

Senja lambat laun kehilangan pendarnya. Matahari melesak di balik lautan Hindia. Saya pun melipat kamera dan mengangkat ransel, berjalan meninggalkan Pantai Panjang melintasi petak trotoar Kota Bengkulu yang muram diterangi oleh cahaya lampu jalan yang seadanya.

“Ya seperti inilah Bengkulu,” kelakar Pak Ihsan pada waktu saya kembali ke penginapan, “Kotanya kecil. Di sini bangun mall juga termasuk terlambat. Malahan Lubuklinggau yang bukan ibukota provinsi sudah punya mall duluan. Sepertinya soal pembangunan di Sumatera ini, Bengkulu selalu kebagian urutan paling terlambat.”