Angkasa sempat muram. Namun entah mengapa mendung mendadak tersibak, seakan memberi kesempatan kepada kami untuk menyimak nyala-nyala terakhir senja. Di bawah segumpal awan hitam, matahari mengintip, membelah langit menjadi dua warna dominan, biru dan jingga.
“Berdirilah di sebelah sana,” ucap Pak Inyong meminta saya untuk mundur beberapa langkah. Air laut yang bergoyang tenang merendam sebatas pinggang, sementara Pak Inyong membidikkan kamera kecilnya. Seperti yang saya duga, tercetaklah siluet diri di gambar hasilnya.
Senja ini adalah pamungkas nan sempurna untuk hari yang melelahkan. Kami berperahu dari satu pulau ke pulau yang lain, menyantap ikan yang kami bakar swalayan, dan mengakrabi sela-sela gugusan karang di Teluk Kabui. Di penghujung perjalanan yang menguras tenaga dan membakar kulit, di sinilah saya mencoba menghela napas menikmati waktu berjalan lambat-lambat.
Entah mengapa sore ini matahari terasa begitu lama menggantung rendah di ujung sana, seakan tersangkut di awan hitam yang sedari tadi menaunginya. Sementara di bawah sini, ikan-ikan kecil berenang ke sana kemari, tidak peduli dengan si manusia yang sedari tadi menatap bola api aneh yang mengambang di angkasa.
“Sebentar lagi listrik menyala,” sahut Pak Inyong, “Di sini listrik dan sinyal telepon hanya ada dari pukul enam sore hingga pukul sepuluh malam. Jadi kalau pingin ngecas batere hape, sebaiknya dilakukan sekarang.”
Ah, hampirlah saya lupa, saya hidup di pelosok pedalaman Papua Barat, yang mana listrik adalah sebuah kemewahan. Tetapi dengan segala kemolekan Raja Ampat yang saya telusuri beberapa hari terakhir, kebutuhan akan listrik seakan terlupakan. Ya. Siapa peduli dengan gadget ketika kita bisa menikmati alam seindah ini.