Hari ini angkasa Pekanbaru cerah. Baru beberapa bulan lalu saya berkunjung ke tempat ini disambut oleh asap tipis menggantung setinggi hidung. Musibah kambuhan yang terjadi di Riau sudahlah barang pasti menghentikan roda perekonomian provinsi kaya minyak ini.
Lama di masa lampau, lapangan udara di tempat ini dibangun Belanda hanya bermodalkan landasan dari tanah yang sudah dikeraskan. Sedemikian sederhana dan dilanjutkan pemerintah republik dengan nama Bandar Udara Simpang Tiga. Dinamai sedemikian rupa karena lokasinya berdekatan dengan pertigaan jalan yang menghubungkan Pekanbaru, Kampar, dan Indragiri Hulu.
Lima belas tahun berlalu semenjak bandar udara ini menyandang nama Sultan Syarif Kasim II, renovasi besar-besaran pun dilakukan. Perluasan gedung dan penataan landasan dikebut demi memberikan kesan “selayaknya” sebagai sebuah provinsi kaya minyak bumi. Tentu tidak elok apabila salah satu provinsi terkaya di Indonesia ini mempunyai gerbang masuk berbentuk seperti gudang beras.
Bandara kebanggaan Pekanbaru ini bersolek. Gedung megah berlapis kaca berdiri angkuh tidak jauh dari gedung tua yang sebelumnya menjadi bangunan utama. Ransel saya lempar ke bagasi, tidak berapa lama kemudian taksi pun melaju. Sementara saya tidak bisa melepaskan tatapan dari gedung megahnya.