Dua orang nelayan yang berjalan di lorong dermaga itu barangkali berniat bilang, “Kamu sudah terlambat anak muda, pulanglah ke Tanjungredeb.”
Untunglah mereka tidak bilang begitu. Tetapi memang benar. Saya terlampau sore tiba di tempat ini. Selazimnya orang menyeberang ke Pulau Derawan pada pagi hari, bukan menjelang matahari terbenam seperti ini. Namun saya tidak punya pilihan lantaran perjalanan tadi pun penuh dengan hambatan yang mengusik rencana.
Pasti ada kapal-kapal nelayan yang akan pulang kampung ke Derawan, harap saya. Berdasarkan pengalaman yang telah lewat, kapal-kapal nelayan yang kembali dari mengisi logistik dari Berau akan pulang menjelang sore hari. Memang sore sih, namun tidak sesore ini. Meskipun demikian saya masih menyimpan harap.
Inilah Tanjung Batu, terminus Berau. Ujung dari perjalanan di Pulau Kalimantan. Di seberang sana sudah pulau-pulau kecil yang merupakan bagian dari Taman Nasional Derawan Sangalaki.
Menggapai Tanjung Batu berarti menggenggam ujung simpul perjalanan. Dari sini kelanjutannya hanya menanti dan menanti akan datangnya kapal. Apabila beruntung, maka saya mendapatkan tumpangan kapal menuju Derawan. Tetapi setidaknya sudah setengah jam saya berdiam diri di dermaganya menanti datangnya kapal. Sementara langit sudah mulai sedikit terlihat muram dan gelombang laut mulai liar.
Nampaknya Dewi Fortuna masih berpihak kepada saya. Tidak berapa lama sebuah kapal nelayan bermotor akan berlepas ke Derawan, mesin motornya meraung-raung menarik perhatian saya.
“Mau ke Derawan, Pak?” teriak saya kepada si bapak nelayan, “Saya mau numpang!”
Bapak itu mengangkat tangannya, mengisyaratkan saya untuk menghampiri. Saya melihat kapal motor kecil itu sudah dipenuhi dengan kardus dan barang-barang logistik yang dibawanya dari Berau. Satu-satunya tempat duduk yang tersisa ya di atas kardus itu. Apa boleh buat, saya harus ke Derawan sebelum gelap.