Boleh jadi semua orang menyimpan sepenggal pertanyaan yang sama ketika pertama kali melawat ke tataran Tanjung Tinggi, bagaimana bongkah-bongkah granit nan masif bisa terdampar di sini?
Entahlah. Saya juga orang baru di sini. Yang jelas Tanjung Tinggi memang meroket popularitasnya seusai peran sentralnya sebagai lokasi syuting film Laskar Pelangi. Popularitas yang tidak hanya membawanya dari sebuah pantai sepi senyap menjadi destinasi wisata utama, namun juga mendorong pembangunan hotel mewah di seberang jalan.
Siang itu saya terbenam di hamparan air tenang yang dikurung bebatuan besar, sementara pandangan mata saya benar-benar lekat kepada ratusan batu seukuran mobil yang berserakan di hamparan pantai sempitnya. Matahari memang bersinar dengan buasnya. Namun kami tidak peduli, tidak ada orang lain di pantai itu, kami pun mandi.
Eka dan Riska duduk di atas batu besar, sementara Arfan dan Ruri sibuk mengambil serentetan gambar dalam berbagai posisi. Saya memang bukan penggemar keriuhan, saya lebih suka melamun di salah satu cekungan airnya, merasakan hangatnya air laut yang kalem.
“Eh, ada ikan! Ada ikan!” teriak Eka melihat banyak sekali ikan-ikan kecil berhamburan dari balik batu. Sudah barang tentu teriakan-teriakannya itulah yang membuat ikan-ikan tadi kabur ke tengah laut. Tidak terasa kami melewatkan tiga jam bermain air di tempat ini, bertukar canda seraya melegamkan kulit.
Tanjung Tinggi memang cantik. Bahkan saking cantiknya, saya tidak tahu apa yang harus saya ungkapkan dalam tulisan ini karena kata-kata dan sorot kamera tidak akan cukup untuk menggambarkan indahnya suasana pantai yang sepi siang itu.