Semarak Tari Kecak Ubud

Lidah-lidah api menjilat-jilat menyambar udara malam. Percik bunga apinya berbaur dengan asap muram memedihkan mata. Empat atau lima lusin tangan terangkat ke atas, diiringi decak-decakan kencang yang menelan heningnya malam dalam nuansa sakral nan majestik.

Entah sudah berapa puluh kali saya singgah di Pulau Dewata. Tetapi Bali seakan tiada pungkasnya, laiknya swargaloka yang turun ke bumi. Di sisi coraknya yang dituduh berdesaturasi, warna-warni meriah masih dapat ditemukan di sudut-sudut Bali. Tidak terkecuali malam ini di Ubud.

Kecak adalah presentasi ceritera Ramayana. Puluhan laki-laki bertelanjang dada duduk melingkari arena, mengangkat kedua lengan, dan menyerukan seruan decak-decak kencang menggambarkan peristiwa ketika berlaksa-laksa pasukan kera maju berperang membantu Rama melawan Rahwana menggempur Alengka. Di tengah arena, para penari berkostum Hanoman, Rama, Shinta, Sugriwa, dan Rahwana bergantian membawakan tetarian.

Sebagai ritual tarian sanghyang, Kecak kerap melibatkan para pandita. Sakral. Dengan membawa segelas air, sang pandita akan memercikkan air ke kobaran api yang menyala-nyala. Tanda klimaks dari tari Sanghyang ini.

Sebagai ritual yang lestari, mudah sekali menemukan sanggar penari Kecak. Di Ubud saja terdapat entah berapa banyak pementasan tari Kecak. Belum termasuk yang dipentaskan di tempat-tempat semacam Uluwatu dan Garuda Wisnu Kencana setiap harinya.

Memilih Tari Kecak itu sebenarnya gampang gampang susah,” terang Pak Yasa kepada saya sore tadi, “Perhatikan saja yang kostumnya tidak lusuh dan wajah penarinya terlihat antusias.”

Dan akhir cerita, jadilah saya terdampar di sini. Malam ini di Ubud.