Pemandangan yang agak kurang lumrah adalah ketika pintu merah marun itu dibuka lebar-lebar. Entah sudah berapa ratus kali saya melintasi bangunan bersejarah ini namun pemandangannya senantiasa sama, dua daun pintu yang tertutup rapat dan jendela yang terpatri pada gagangnya. Pagi ini berbeda. Pintu besar itu ternganga lebar seakan mengundang para pelintas di Kali Besar untuk melongokkan kepalanya masuk.
Untsa dan saya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mendekat. Tidak ada orang di sana, yang kami terjemahkan secara personal sebagai izin masuk. Dan demikianlah kami berdua untuk pertama kalinya berada di dalam bangunan tua yang selama ini tidak lebih dari sebuah tembok merah bata yang tertutup rapat.
Toko Merah, demikian masyarakat Jakarta menamainya, sudah berdiri di seberang Kali Besar semenjak tahun 1730. Bangunan ini pada mulanya berfungsi sebagai rumah dinas Gubernur Gustaav van Imhoff dan sempat difungsikan sebagai gedung akademi angkatan laut Hindia Belanda. Pada pertengahan abad ke-19, bangunan ini diambilalih oleh saudagar Tionghoa, Oey Liauw Kong, dan difungsikan sebagai toko. Semenjak itu masyarakat mengenalnya dengan sebutan Toko Merah.
Di balik dinding bata merahnya yang tidak diplaster, Toko Merah menyimpan sejarah pilu. Bangunan ini sempat menjadi saksi kebrutalan pemerintah Hindia Belanda terhadap orang Tionghoa yang tinggal di seluar tembok kota. Gubernur Adriaan Valckenier mengerahkan serdadunya menembaki pedagang Tionghoa yang memprotes represi pemerintah dan jatuhnya harga gula.
Kerusuhan pun pecah. Sebanyak lebih dari sepuluh ribu orang Tionghoa tewas terbunuh bersama dengan lima ratus lebih tentara Belanda di sudut-sudut Batavia. Darah yang menggenang mengalasi mayat-mayat yang bergelimpangan pada sisi seantero kota, termasuk salah satu lanskap yang paling mengenaskan adalah ambang pintu Toko Merah yang mana puluhan mayat tergeletak di hadapnya.
Toko Merah memang punya sejarah merah. Namun sekarang tidak banyak orang yang mengetahui seluk beluk historia dari salah satu bangunan tertua di Jakarta ini. Kunjungan saya ke Toko Merah pada pagi itu seakan memutar kembali rekaman kelam yang terlupakan. Bagian dalam dari gedung cagar budaya ini ternyata masih begitu terawat, lantai marbelnya bersih, dan suasanya terasa begitu teduh.
Pada kedua sisi bangunan terdapat sepasang tangga untuk menuju ke lantai dua. Untsa dan saya mendaki tangga yang diterangi oleh sepijar lampu redup berwarna kekuningan. Kosong. Di atas sana tidak ada apapun selain ruangan kosong.
Dan demikianlah kunjungan kami ke Toko Merah diakhiri. Setelah mengambil beberapa gambar, kami berdua pun bergegas menuju ke Kota Tua untuk visitasi ke destinasi-destinasi berikutnya.