Surga itu di sini. Katanya. Namun sejauh mata memandang hanya terlihat jalanan sempit dengan aspal yang masih baru namun telah dijalari tumbuhan liar. Inilah sisi lain Raja Ampat. Hanya Indra satu-satunya alasan persinggahan saya di Saleo. Berbekal informasi sedapatnya, saya meluncur membabat aspal sempit Waisai menuju ke Saleo.
Sepeda motor ini dengan tenang melibas jalan raya yang mulus. Sementara tidak jauh di depan kami terdapat sebuah truk kecil yang mengangkut warga setempat pada baknya, etnis Melanesia berkulit legam berambut keriting yang selalu membalas senyuman saya dengan terkekeh.
Saleo tidak jauh dari Waisai, setidaknya demikian kata Pak Jajang, guru Bahasa Inggris dari SMA Negeri 1 Waisai yang kami temui pagi tadi. Namun kombinasi antara panasnya siang dan rasa was-was melintasi jalanan sunyi membuat perjalanan ini terasa lebih lama dari seharusnya.
“Sudah sampai,” kata Albertus menghentikan motornya di tepian hampar perdu. Tidak kelihatan apa-apa selain tetumbuhan liar. Memang ada jalan setapak, namun nyaris tidak terlihat lantaran lebatnya semak belukar yang menaungi tanah itu.
“Iya. Itu terobos saja semak-semaknya, rumah Inyong ada di dalam sana,” pungkas Albertus. Saya mengangguk dan melangkah masuk.