Para Penghuni Way Kambas

Rerumputan tinggi yang saya pijak ternyata amblas. Maka hancurlah sepatu saya terbenam di dalam lapisan lumpur. Bukan sekali dua kali saja, tetapi berkali-kali. Nampaknya kawasan terbuka Taman Nasional Way Kambas yang berlapis semak-semak ini tidak sedatar dan setegar yang saya duga, nyaris keseluruhan tanahnya berupa lumpur dangkal berlapis tetumbuhan perdu.

Di atas sebuah bukit kecil yang berbatu, saya memandang ke arah kejauhan. Terlihat beberapa ekor gajah sedang merumput di bawah sana, mereka terbagi dalam kelompok-kelompok kecil, masing-masing satu hingga tiga ekor. Beberapa terlihat aktif mengais-ais rerumputan sementara sisanya nampak berkubang di siang hari yang panas.

“Yang itu tiga generasi,” ucap Pak Sofyan setengah terpincang ketika berusaha mengimbangi langkah saya yang begitu cepat dan menggebu-gebu, “Itu neneknya salah satu yang tertua di Way Kambas. Namanya Katijah. Kemudian itu anaknya dan satu yang paling kecil adalah cucunya, namanya Desti.”

Saya tidak pernah bertanya bagaimana mereka menamai gajah-gajah itu. Yang jelas saya sudah sedekat ini dengan para penghuni Taman Nasional Way Kambas tentu tidak masuk akal apabila saya tidak mengambil kesempatan berfoto barang sejenak. Ketiga gajah nampak menyadari kehadiran saya, menoleh sebentar, kemudian melanjutkan aktivitas mereka. Saya pun mendekat dan meminta Pak Sofyan mengambil beberapa gambar saya di depan para gajah Asiatik yang berkeliaran bebas.

Kawasan Taman Nasional Way Kambas sebenarnya tidak hanya menjadi hunian bagi para gajah, terdapat banyak spesies lain yang mendiami tanah ini. Termasuk salah satunya adalah kawasan Way Kanan yang menjadi habitat teruntuk badak Sumatera.

“Ada sekitar enam puluh gajah yang dilatih oleh taman nasional,” ucap Pak Sofyan melanjutkan narasinya sementara saya merunduk di sebelah Desti untuk mengambil gambar berdua, “Sedangkan di hutan sana ada ratusan gajah liar yang dikonservasi.”

Gajah-gajah yang terlatih inilah yang digunakan untuk membentengi kawasan Taman Nasional Way Kambas. Tujuannya adalah untuk menjaga agar kawanan gajah liar tidak menyeberang ke pemukiman penduduk maupun sebaliknya sebagai kendaraan patroli untuk mencegah penduduk merambah masuk ke kawasan taman nasional. Seperti biasa, lagi-lagi gesekan antara manusia dengan alam yang menjadi permasalahan utama untuk konservasi satwa din Indonesia.