Inggris pernah menyimpan harapan besar pada tanah ini. Ketika mereka pertama kali berlabuh di Bengkulu pada tahun 1685, Inggris mempersiapkannya sebagai dermaga masif yang menghubungkan nusantara dengan koloni di India dan Cina, sekaligus penyuplai rempah-rempah. Namun ternyata Bengkulu bukan tanah santun yang mudah ditaklukkan. Alam adalah musuh terbesar pemerintah Inggris kala itu.
Mulai dari banjir bandang, gempa bumi, kolera, disentri, hingga malaria silih berganti menghampiri serdadu Inggris yang mendiami garnisun Fort York di tepian Sungai Serut. Hingga akhirnya pada tahun 1714, Inggris membangun markas baru di tepi pantai, Fort Marlborough.
Angin segar sempat datang ketika Sir Thomas Stamford Raffles diutus untuk turun tangan menjadi gubernur Bengkulu tahun 1818. Meskipun sebenarnya kesan pertama Raffles terhadap Bengkulu juga sangat jauh dari mengenakkan, seperti yang ditulisnya dalam surat kepada William Marsden.
“Tanpa kecuali, ini adalah tempat paling amburadul yang pernah saya pimpin dan bahkan saya kesulitan untuk menjelaskannya. Pemerintahan yang sangat buruk, gempa bumi yang berulang kali, bangunan-bangunan di sini semuanya hampir ambruk, transportasi tidak berjalan, jalan raya ditumbuhi oleh rumput-rumput tinggi, kantor pemerintahan disesaki anjing liar. Kata mereka Bengkulu ini ‘tana mati’. Saya bahkan belum pernah lihat yang hancurnya setengah dari ini.”
Bengkulu memang ibarat ‘tana mati’. Namun di bawah pemerintahannya, Raffles berjuang keras melakukan yang terbaik untuk mereformasi tanah ini. Mulai dari usaha menghapuskan perbudakan hingga melarang judi menyabung ayam. Selain itu Raffles juga mendirikan Monumen Thomas Parr dan merombak seluruh sistem transportasi untuk memperbaiki kehidupan sosial masyarakat Bengkulu.
Namun usaha mati-matian dari Sang Gubernur tidak pernah terbayar. Banyak uang digelontorkan tidak berhasil mengangkat status Bengkulu dari sebuah colonial backwater, kubangan hitam kolonial, hingga akhirnya Traktat London menyudahi pendudukan Inggris Raya di Bengkulu dan memindahkan pos komandonya ke Singapura.
Soal ini, saya percaya pasti banyak sekali di antara anda yang berandai-andai, bagaimana jika Inggris tidak jadi menukarkan Bengkulu dengan Singapura? Bagaimana jika Stamford Raffles tetap menggerakkan reformasi kota Bengkulu untuk beberapa tahun ke depan? Kita tidak pernah tahu. Namun andai sejarah berputar ke arah yang berbeda, Bengkulu dan Singapura bisa jadi akan bertukar nasib.
Selain Fort Marlborough maupun Fort York, Inggris juga pernah membangun Fort Anna, terselip jauh di daerah Muko-Muko, sekitar 250 kilometer sebelah utara kota Bengkulu. Saat ini Fort Anna hanya menyisakan puing-puing saja dan beberapa peninggalan kanon yang sudah berkarat. Bahkan kerangka fisik Fort Anna pun kita hanya bisa mereka-reka.
Dengan kekayaan sejarah peninggalan kolonial Inggris di Bengkulu, seharusnya ini dapat menjadi ujung tombak nilai jual pariwisata Bengkulu. Melihat suasana benteng yang relatif sepi, potensi turisme Fort Marlborough nampaknya belum berhasil dioptimalkan. Padahal apabila dipadukan dengan Pantai Panjang, Pulau Tikus, serta Rafflesia arnoldi sebenarnya boleh dikata Bengkulu punya satu paket wisata unggulan. Apalagi beberapa spot yang menarik lokasinya relatif berdekatan. Ah, andai saja!