Terminus Kampung Parapat

Mentari senja mengusap wajah. Rerumputan kering yang sedari tadi mengalasi duduk saya mulai terasa menusuk-nusuk, namun saya berusaha untuk tidak peduli. Siang baru saja pungkas tanpa permisi, memposisikan matahari tepat di hadapan muka yang absah merona kemerahan.

Parapat adalah kampung terminus. Perjalanan sudah seyogyanya berakhir di titik ini, tidak perlu melanjutkan lagi karena yang dapat kita lakukan hanyalah menanti datangnya kapal. Perhentian berikutnya adalah Samosir di seberang sana, yang tertelan di balik kabut asap.

Di atas bukit ini saya duduk seorang diri menatap luasan Danau Toba.

Adalah omong kosong apabila penyusuran seorang pejalan selalu digambarkan penuh cerita seru yang memompa adrenalin, seakan dunia di luar sana tidak memberikan waktu untuk beristirahat menarik napas. Perjalanan tidaklah selalu seperti itu. Sebagian besar perjalanan dilewatkan dalam kesendirian dan kesunyian. Penantian. Sebagian menyebutnya periode kontemplasi, sebagian lain menyebutnya kebosanan.

Apa sih yang ada di atas sini? Bolehlah pemandangan cantik di mengepung saya satu lingkaran penuh, namun satu hari di atas sini tanpa kepastian adalah ujian untuk berdamai dengan realita perjalanan. Keinginan saya sederhana, melihat kapal yang dinanti-nanti itu menampakkan dirinya dari balik kabut.

Simon dan Heri menanjaki bukit sambil mendiskusikan sesuatu, entah apa. Mereka menyambut saya yang sedari tadi duduk seorang diri di atas sana. Kata mereka, kapal akan segera datang jadi tidak perlu lagi lama-lama kita menunggu di atas sini. Baguslah.

Beberapa hari lewat saya meninggalkan metropolitan Medan yang berdentum-dentum dengan segala keriuhan dan kesemrawutan. Sekarang saya berada di Parapat, sebuah titik terminus yang sama sekali kontras, di awang kesunyian yang tak bertuan. Berikutnya adalah Tuktuk Siadong.