Dalam kelumrahan budaya Jawa, semakin kondang sebuah destinasi, maka semakin kental pula mitos yang menyertainya. Entah ini korelatif atau kausastik. Kawah Sileri adalah salah satu yang tidak dapat melepaskan diri dari mitos-mitos lokal.
Adalah seorang nenek sihir yang tinggal di tepi lereng bukit pada suatu masa. Sayangnya usaha si nenek untuk memperdalam ilmu hitamnya di malam hari selalu terusik oleh suara-suara berisik penduduk desa sekitar. Dengan menggerutu, ia pun pergi meninggalkan desa dengan membawa setangkup batok kelapa berisi air cucian beras, atau orang Jawa biasa menyebutnya air leri.
Pada perjalanan menyusuri lereng bukit yang gelap itu, kakinya terantuk batu. Tumpahlah semua air leri yang digunakannya sebagai medium sihir itu ke dasar lereng. Percikan air leri tersebar ke seantero lembah menjadi kawah-kawah kecil yang airnya keruh bak cucian beras, Kawah Sileri.
Usut punya usut, bukan hasil investigasi kepolisian, batu yang tadi menyandung kaki si nenek adalah jelmaan dari Dewi Mala, bekas murid si nenek itu sendiri yang disihir menjadi batu. Konon Dewi Mala pernah mencuri pembakar dupa milik si nenek yang terbuat dari emas, sebagai hukum rimbanya dihukumnyalah ia menjadi batu. Dan pada kemudian hari, sang murid pun membalas dendam dengan mengganjal kaki gurunya.
Rumit. Memang. Jangan tanya saya mengapa ceritanya begitu absurd. Namun itulah mitos yang beredar di masyarakat lokal perihal munculnya Kawah Sileri.
Bagi kami berempat, tentu bukan mitos itu yang kami cari. Pemandangan cantik dari atas tebing adalah satu-satunya kemaslahatan yang kami pedulikan saat itu. Iseng saya pun bertanya kepada Pak Naryo yang menceritakan legenda si nenek sihir, “Apa ada cerita juga soal asap di situ?”
“Oh, ada!” jawabnya spontan, “Jadi karena habis kesandung, si nenek sihir marah besar. Kemudian dipukulnya batu tadi hingga berkeping-keping dan mengeluarkan asap putih. Itulah kenapa di Kawah Sileri ada asap putihnya.”
Entah apakah itu dibuat-buat atau memang benar demikian ceritanya.