Palangkaraya siang itu sunyi dan membara. Langkah gontai mengiringi perjalanan saya menyisir sepanjang trotoar yang bongkah-bongkah tegelnya sudah mulai terlepas. Dengan bermodalkan peta sederhana, saya berusaha mencari rumah betang besar yang berdiri di jantung kota ini.
Tidak susah lantaran rumah berdinding hijau pupus itu terlihat megah di seberang jalan. Bayang-bayangnya padat seakan menutupi setengah badan jalan. Ini adalah rumah betang kedua yang saya kunjungi setelah Pontianak.
Rumah Betang adalah rumah adat khas Dayak, lazimnya rumah ini dihuni bukan hanya oleh satu keluarga melainkan oleh beberapa keluarga sekaligus. Ibaratnya sebuah kampung di dalam satu tempat tinggal. Apabila di Pontianak, replika rumah betang didasarkan kepada bangunan adat suku Dayak Kanayatn. Di Palangkaraya, rumah ini mewakili identitas suku Dayak Ngaju.
Hanya ada satu orang di sana, bapak renta berjenggot hitam putih yang sedang sibuk menyapu halaman rumah ini. Dengan setengah berkernyit, dia menanyakan ihwal kedatangan saya.
“Sebenarnya ini gedung pertemuan, memang replika yang dibuat mirip rumah betang,” sahutnya menanggapi penjelasan saya, “Tetapi ya, kalau hari begini tidak ada orang.”