Dieng Bagaikan Dunia Lain

Baris-baris gunung memang bukanlah kurva mulus sempurna seperti yang kita biasa gambar di bangku sekolah dasar. Bongkah-bongkah batu tercecer di sana sini, entah berapa banyak telaga di tanah ini, warna merah jingga biru hijau berbaur menjadi satu, asap pun terkadang mengepul entah dari mana. Dieng memang susah dijelaskan.

Perjalanan melintasi dataran tinggi Dieng memang terasa bagiakan membelah dunia lain dalam film-film fantasi. Atau mungkin memang kami saja yang kurang gaul.

“Kenapa ya awan-awan di sini seperti mengepul dari bawah?” tanya Diaz dengan antusias.

“Karena di seberang situ ada pabrik awan,” jawab saya seenaknya, “Itu rahasia alam semesta yang kita temui pagi ini. Bahwa awan itu diproduksi di Dieng.”

Tentu saja saya tidak berada di dalam kapasitas untuk menjelaskan. Perjalanan kami pada hari itu memang lebih dipenuhi lantur dan jawab ngasal daripada observasi ilmiah. Apalagi berhadapan dengan Dieng yang punya segudang tanya untuk dijelaskan.

“Pemerintah sudah mulai memberdayakan Dieng untuk menjadi penghasil energi panas bumi,” terang Pak Sawarno yang bertemu kami di dekat pipa-pipa gas raksasa, “Karena banyak kawah di sini, saya yakin Dieng cukup potensial untuk menjadi penyumbang energi geothermal.”

Memang. Bukan hanya alamnya yang cantik dan eksotik, namun juga potensi besar terkandung di dalam tanahnya. Belum lama, saya sudah jatuh hati dengan tanah ini.