Bukan lumrah apabila saya berjalan dalam kelompok besar. Perjalanan ke Bromo kali ini berlainan dengan ekspedisi solo yang kerap saya lakukan sepanjang tahun. Entah berapa banyak kami, saya tidak ingat. Mungkin lima belas atau mungkin juga dua puluh. Kesemuanya anak-anak muda dari Jakarta yang mencari kesenangan dan gambar-gambar indah di Bromo.
Perjalanan abad baru ini sudah demikian berbeda. Turis, buklet, buku panduan, dan paket-paket wisata sudah dengan begitu mudahnya. Keindahan itu masih ada, namun segalanya dihidangkan tanpa otentisitas.
Siapa peduli. Barangkali begitu jalan pikir kami anak-anak Jakarta ini. Toh kami mampu mendapat pemandangan yang sama indahnya dengan kerepotan yang minimal. Mengapa harus memberati pikiran dengan falsafah yang tidak-tidak?
Demikianlah hari itu saya mengabaikan semuanya. Perjalanan singkat ini memang harus dinikmati dengan cara yang paling singkat pula. Berkendara dengan jip warna-warni, tim kami singgah di sudut-sudut terbaik Bromo. Mulai dari padang pasir hingga hamparan rerumputan berbukit yang mereka sebut Bukit Teletubbies.
Satu hal yang pasti, wisata serba instan di Bromo adalah penghidupan. Penghidupan bagi warga lokalnya yang mengunci kepemilikan seluruh kendaraan di lereng Tengger ini. Tidak boleh ada orang luar yang menawarkan jasa persewaan kendaraan di Bromo.
Perjalanan masih berseri. Edisi berikutnya kami beranjak untuk menuju Air Terjun Madakaripura yang terletak tidak jauh dari Bromo. Kita lihat saja ada apa di sana.