Teruntuk masyarakat pribumi, kehidupan di sebalik tembok Kota Batavia adalah misteri. Kali Besar yang sebenarnya tidak begitu besar seakan menjadi pembatas yang sulit sekali dilewati. Di balik sana ada kehidupan masyarakat Eropa yang sama sekali berbeda dengan hidup yang mereka kenal di seluar tembok.
Kali Besar yang lebarnya hanya dua puluh meter ini adalah pembatas de facto antara kaum londo dengan kaum inlander. Antara kaum Eropa dengan kaum Asia.
Nicolas de Graaff pernah mencatat sebuah observasi menarik dalam lembar buku hariannya bahwa pada masa tersebut nyonya-nyonya Belanda gemar berkumpul di sini. Setiap Minggu pagi mereka terlihat berbondong-bondong berjalan menyusuri boulevard di sepanjang Kali Besar, berpakaian serba glamour, menuju ke Kruiskerk, Gereja Besar, yang kini menjadi Museum Wayang. Pada masa itu gereja bukan sekedar peribadatan melainkan juga cermin status sosial.
Nyonya-nyonya Belanda ini bukanlah orang-orang yang kerjanya hanya duduk diam, berdandan, dan mengikuti suami. Rerata dari mereka adalah para nyonya tanah, pengusaha yang terlibat dalam berbagai aspek komersial dan jual beli properti, hingga rentenir. Kehidupan mereka begitu mewah sehingga lumrah apabila mempunyai banyak budak baik yang lokal maupun yang diimpor dari negara tetangga.
Kali Besar kini sudah berubah. Sedari sebuah kanal pembatas kehidupan, sempat berubah menjadi sungai yang kumuh, kini kembali diperbaiki menjadi sungai yang bersih di papar utara Jakarta. Tentu saja kini sudah tidak ada nyonya-nyonya Belanda berkeliaran dengan pakaian mewah pada hari Minggu. Sebagai gantinya adalah anak-anak remaja berkamera. Apabila anda masih melihat orang-orang Belanda di tempat ini, maka hampir bisa dipastikan mereka adalah turis!